Abah Kanta

1.9K 135 3
                                    

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, Lingga telah tiba di depan rumahnya, di Warung Kondang. Rumah ibunya terletak di daerah pesawahan.

Ketika tiba di sana, sudah terlihat ada mobil landrover tua yang terparkir di halaman. Saat turun dari motor, Lingga memeriksa teleponnya yang bergetar sedari dia ke luar dari tempat kos. Dari Hendra, Bhadra, Lola, Bu Neli. Paling banyak panggilan dari Bhadra.

Pesan dari daring whats app sudah lebih dari seratus. Tak mau berbohong lagi, Lingga segera mematikan teleponnya. Dia membuka helm dan berjalan menuju pintu.

Ibunya yang masih saja kurus tergopoh menyambut dan memeluknya. Selalu begitu. Ibunya pasti menangis karena begitu rindu pada anaknya yang memang jarang pulang.

Lingga menyesal dia masih saja terbiasa lupa menghubungi ibunya ini. Setelah pelukan ibunya mengendur, Lingga melihat ke arah belakang.

Seorang lelaki, berbadan seperti semar, mengenakan peci bulat, kaos oblong putih, sarung kotak-kotak warna coklat, mata kecil sebelah kanan, berdiri tersenyum menatap ke arah Lingga. Tangannya disimpan di belakang.

Saat uluran tangannya disambut Abah Kanta, kemudian dipeluk olehnya, barulah air mata Lingga pecah mengalir. Entah mengapa, dia serasa menemukan tempat pulang.

Ada orang lain lagi yang menemani Abah Kanta. Katanya, itu Pak Mantri baru yang sudah mau mengantarkan dengan mobil landrover tua sekaligus mengemudikannya. Abah Kanta tak banyak cerita dan memberikan kesempatan pada ibu Lingga untuk bertukar kabar.

Kunti Dewi melayang-layang sebentar, kemudian duduk menempel di sebelah Abah Kanta, setelah Aki Lingga ini mengedipkan mata. Lingga tahu, Abah Kanta tahu kehadiran Kunti Dewi. Dia lega menyadarinya.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi sampai Abahmu ke sini. Tapi dia bilang sangat penting, walau tetap saja dia tak mau bilang." Ibu Lingga menggerutu. Abah Kanta hanya terkekeh.

"Aku mau pinjam Lingga sebentar, Tati. Sasmita datang ke mimpiku. Minta cucu kesayangannya ini nyekar. Sudah berapa lebaran kalian tidak datang?" jawab Abah Kanta sambil tersenyum.

Ibu Lingga tertunduk malu. Lingga tersenyum. Dia tahu, bukan itu yang ingin disampaikan oleh Abah Kanta.

Ini pasti terkait para siluman itu. Tak mungkin Abah cerita pada Ibu, pikir Lingga.

"Baiklah, kalau itu alasannya. Kamu sudah diijinkan atasanmu kan?" Ibu Lingga menatap anaknya lekat.

"Sudah kok, Mih," jawab Lingga.

Maksudnya, dia sudah mengajukan. Entah diijinkan atau tidak, bukan itu yang merisaukannya sekarang. Biarlah saja, pikirnya.

"Syukurlah," kata Ibu Lingga.

Mereka tak menghabiskan waktu lebih lama lagi. Walau Ibu Lingga menahan-nahan untuk makan siang, Abah Kanta menolak sedemikian halus. Dengan alasan, saat ini musim hujan, dan jalan ke Agrabinta banyak yang kena longsor. Kalau terlalu sore, katanya, dia takut tiba-tiba longsor datang dan menimpa mereka.

Pak Mantri menambahkan, kalau lampu mobil tuanya, belum sempat masuk bengkel. Mau tidak mau, Ibu Lingga mengijinkan.

Lingga meninggalkan motor di rumah ibunya. Dia bergabung masuk ke dalam mobil landrover punya Pak Mantri.

Sepanjang jalan, Abah Kanta tak banyak bicara. Lingga mengerti. Ada orang lain bersama mereka. Selain itu, dia pun merasa sangat mengantuk. Dia tertidur sepanjang jalan di bagian belakang mobil yang memang sudah dialasi dengan kasur.

Seperti dirinya, Kunti Dewi pun ikut berbaring di sebelahnya.

***

Mereka tiba saat adzan Magrib telah berlalu beberapa menit. Di kampung, suara adzan rasanya lebih menggema dan bergaung ketimbang saat Lingga berdiam di Bandung. Suara-suara serangga malam bersahutan dari arah sawah dan kebun-kebun. Udara pun lebih dingin.

SelubungmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang