Mbah Wantiah

2.1K 170 17
                                    

Menurut Mbah Wantiah, Lingga memiliki energi spiritual langka yang belum seimbang karena tak ada yang membimbing, alias tidak punya guru. Katanya, itu bersifat turunan dari garis ayah. Karena tidak ada guru atau seseorang yang memberi tahu dengan benar, energi yang dia miliki berkembang liar seada-adanya.

Energi tipe ini disukai para hantu karena bersifat lentur, nyaman, cocok jadi tempat istirahat mereka. Apalagi, pintunya terbuka lebar karena Lingga tak pernah berusaha sedikit pun mengendalikan rasa takutnya. 

Kata Mbah Wantiah, rasa takut dan perasaan-perasaan emosi negatif lainnya itu seperti angin kencang puting beliung yang dapat membuka pintu kendali jiwa antara dunia manusia dan dunia dimensi lainnya. Bahkan kalau sangat kencang, pintu itu bisa jebol dan tak dapat menutup lagi. 

Itulah yang terjadi pada Lingga sekarang. Pintunya sudah hilang.

Baru sebatas itu, Lingga hanya dapat terbengong-bengong. Dia benar-benar tak menduga ada penjelasan dengan cara pandang begini, di luar dugaan, terhadap rasa rakutnya. Pikirannya melayang pada ayahnya. 

Apa Babah juga menderita sepertiku? Tanyanya dalam hati. 

Memikirkan kemungkinannya, membuat Lingga merasa bersalah. Tak nyaman dengan perasaan itu, pikirannya teralih.

Dia pikir, dia akan mendapatkan arahan untuk mengikuti ritual bakar kemenyan, tabur bunga, mandi kembang, atau apalah itu seperti yang dia dengar, lihat, dan baca dari siaran televisi atau sumber-sumber informasi di internet. 

Ya, Lingga ingat ada masa di mana dia begitu gelisah memahami kecamuk rasa takutnya, berusaha mencari informasi sebisanya. Dia masih ragu apakah dia harus mempercayai Mbah Wantiah atau tidak.

"Bisakah urusan keturunan itu dihilangkan, Mbah?" tanya Lingga, masih berusaha menghindar dari apa pun yang kini terasa membebaninya. 

Mbah Wantiah terkekeh hingga perut gendutnya bergerak-gerak.

"Apakah kamu bisa menghilangkan dan mengganti darahmu jadi minyak kelapa?" tanya Mbah Wantiah balik. 

Mendengar itu, Lingga langsung mengatupkan mulut rapat-rapat.

Tiba-tiba, Lingga teringat dengan penuturan Lola mengenai pertemuan dengan mantannya. Dia segera menceritakan itu kepada Mbah Wantiah, tanpa ragu, dan tidak ditutup-tutupi. 

Selama mendengarkan, Mbah Wantiah memejamkan mata, mengangguk-angguk. Bedanya, kali ini, tidak ada senyum di raut wajah tenang Si Mbah. Ada getaran hebat di kelopak mata kirinya yang melesak tertutup.

"Jadi, itu apa Mbah? Memangnya bisa orang meninggal hadir lagi? Apa maksudnya menyuruhku menemukan sebab mengapa aku diberi air minum alam gaib?" tanya Lingga. Dia menggigit-gigit bibir bawahnya menanti jawaban.

"Orang meninggal, ruhnya sudah tidak ada. Hanya nafsu dan jin pendampingnya yang mungkin masih gentayangan. Apalagi dalam hitungan kurang dari tujuh atau 40 hari setelah orangnya meninggal. Tapi dalam kasusmu, dia bukan mahluk dari mantannya temanmu itu." 

Mbah Wantiah menarik napas panjang. Lengan gemuknya bersidekap. Seperti ada yang berat yang memenuhi benaknya.

"Adakah selain itu yang kamu sadari terjadi akhir-akhir ini? Seperti merasa hilang kesadaran dan badan misalnya?" tanya Mbah Wantiah dengan tatap mata kanan menyelidik. Kelopak mata kirinya masih bergetar acak.

Ditanya seperti itu, Lingga terperangah dan ingat dengan mimpi pun kesadarannya yang hilang. Dia segera menceritakan kegelisahan yang akhir-akhir ini menguasainya. Termasuk rincian kejadiannya.

Ekspresi wajah Mbah Wantiah terlihat semakin murung. Dia mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Melihat itu, Lingga merasa gelisah kembali.

"Tenanglah dulu. Setidaknya, kamu harus bersyukur sekarang kita dapat bertemu," Mbah Wantiah tiba-tiba tersenyum, berusaha menenangkan. 

SelubungmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang