Perasaan Lola

1.8K 150 6
                                    

Pak Tukiman dan Bu Suningsih mengucapkan terima kasih berkali-kali saat mereka berpamitan. Mereka memberikan masing-masing orang sehelai batik. Kelima orang itu tak bisa menolak. 

Khusus kepada Bhadra, sepasang suami istri ini memberikan dua helai kain batik lagi untuk kedua orang tuanya. Bhadra menerima walau terlihat agak ragu.

Matahari sudah mulai meredup ketika mereka berjalan berlalu dari rumah pembatik senior itu. Kali ini, Lingga tak bisa memilih berjalan dengan Abah Nandang karena Lola langsung merangkulkan tangan ke bahunya, mengajak Lingga berjalan lebih dulu. Lagi pula, Hendra dan Bhadra kini menyamakan langkah dengan Abah Nandang. Dia dan Lola berada agak jauh di depan. Berjarak sekitar lima meter dari mereka.

"Tadi ada apa sih?" bisik Lola yang terkesan sangat ingin tahu.

"Ya, itu, La. Bu Suningsih pingsan." Lingga menggaruk-garuk pelipis kanannya.

"Hmm... Kok aku tidak percaya? Kalau hanya pingsan, mengapa Kang Bhadra menahanmu di kamar?" tanya Lola lagi sambil tetap berbisik.

"Nah... itu juga, aku tak mengerti." 

Lingga merasa tak nyaman ditanya seperti itu. Teringat dengan kejadian di dalam dan kata-kata Bhadra yang masih menggaung di telinganya.

"Tak ada apa-apa kan antara kalian?" Lola bertanya lagi dengan nada memastikan. Tetap berbisik.

"Tidak lah! Kan kamu tahu dia itu Bosku. Dan kamu tahu kan, bagaimana sikapku terhadap Bos?" balas Lingga tegas, menahan kuat suaranya.

"Ah, syukurlah." Lola percaya. Dia menarik napas lega sambil melepaskan rangkulan tangannya.

Melihat itu, Lingga mengernyit heran. Apalagi dilihatnya, Lola berjalan agak meloncat terkesan senang. Dia menyimpan kedua tangannya di belakang. Persis seperti seorang anak kecil yang girang karena akan mendapatkan mainan yang diinginkan.

Karena Lola menahan langkahnya, Lingga tadinya akan mengikuti. Tapi, niatnya urung ketika dilihat olehnya, Lola mundur menyamakan langkah dengan Bhadra yang saat itu berbicara dengan Hendra dan Abah Nandang. Tanpa ragu sama sekali, Lola terlihat langsung melingkarkan tangan ke lengan kiri Bhadra.

Tak hanya Lingga yang kaget. Hendra, Bhadra, dan Abah Nandang pun beberapa detik terdiam melihat ke arah teman kosnya.

"Kenapa harus berhenti? Ayo, jalan lagi!" kata Lola dengan nada ringan seolah tidak ada apa-apa.

Mendengar itu, mereka tertawa dan melanjutkan langkah. Bhadra tampak tak terganggu oleh sikapnya dan membiarkan Lola melakukan apa yang ingin dia lakukan. 

Mengerti bahwa dia akan terlihat aneh kalau berdiri mematung, Lingga membalikkan badan segera dan menatap ke arah jalan di depannya. Seperti ada rasa teriris yang menusuk-nusuk bagian dadanya, menyadari Bhadra membiarkan keakraban Lola.

Lingga! Sadarlah! Bhadra kan Bosmu! Dan Lola adalah temanmu! Tegasnya pada dirinya sendiri. Sekuat tenaga dia berusaha mengalihkan pikiran sambil tetap berjalan pelan. Dan pikirannya bergerak ke hal lain.

Bhadra punya bakat spiritual juga? Jenis istimewa yang lainnya? Tadi kenapa terasa panas dan berubah dingin?

Si Dewi ke mana sih? Seenaknya saja dia datang lalu pergi lagi! Ah, Arka, kamu juga di mana?

Waktu aku mencuri jambu saat berumur 9 tahun itu apa? Aku kan memang hobi mencuri buah-buahan tetangga ketika itu. Apa mungkin salah satu tetangganya adalah rumah peristirahatan Pak Pranadigjaya? 

Ah tidak mungkin! Ah tapi... Ah sudahlah Lingga! Ayo, nikmati pemandangan!

Begitulah pikiran-pikiran yang melompat-lompat di benaknya. Saat pikirannya melompat ke arah perlakuan istimewa Bhadra, dia alihkan lagi. Begitu terus. Saking terlarutnya, dia tak sadar dia telah berjalan lebih cepat. Hingga dia tiba di tempat parkir mobil dan tak melihat ada orang di belakangnya.

SelubungmuWhere stories live. Discover now