Jam Dinding

3.9K 230 5
                                    

Tik tak. Tik tak. Tik tak. Tik tak.

Perempuan dengan rambut panjang lebat dikuncir kuda, menatap ke arah jam dinding dengan mata coklatnya terpicing. Kulitnya, yang berwarna senada dengan bola matanya, mengkilap di bawah sinar lampu ruangan. Tangannya terlihat gemetaran. Punggungnya tegak dengan titik keringat membias di leher belakang.

Detak jarum jam di kantor, setelah hari gelap, adalah bunyi yang paling dibenci Lingga setiap kali dia dikejar tenggat waktu penyelesaian laporan akhir minggu. Dia lebih benci lagi karena dua hal itu benar-benar membuatnya ketakutan. Satu, perintah atasannya termasuk konsekuensi kalau dia tak mengikuti. Dua, bunyi detak jarum jam ketika hanya ada satu dua orang yang tertinggal di tempat kerjanya seperti malam ini. Tak ada yang lebih baik daripada yang lainnya.

Lingga sangat berupaya menghindari kondisi-kondisi begini. Namun, berulang kali, dia selalu tak bisa menghindar saat semua tugas seolah dibebankan padanya di satu waktu sekaligus. Alasannya banyak. Perusahaan butuh mengejar target. Bos besar akan mengurangi gaji. Peluang promosi menjadi staf permanen akan semakin menyempit. Atasan langsungnya, Bu Neli, selalu mengulang-ulang alasan sama, setiap kali dia berusaha meminta keringanan. Setahun sudah dia bekerja di perusahaan Danabrata, dia sudah bosan mendengar semuanya. Semangat membela diri sudah mati sejak beberapa bulan lalu. Sayangnya, rasa takut selalu saja menderanya.

Tik tak. Tik tak. Tik tak.

Bunyi jarum jam rasanya semakin mencekam. Pelan-pelan, Lingga melirikkan matanya ke arah jam dinding bulat berwarna hitam putih itu. Jam delapan malam. Dia berusaha fokus pada layar laptop di depannya.

"Laporan mingguan sialan!" umpatnya dengan nada suara ditahan.

Dia melihat ke sekeliling. Dari tempat duduknya, ruangan di seberang pintu, tempat divisi marketing, masih menyala. Lingga mengusap dada dan menarik nafas lega. Kelegaan itu berhasil membuatnya fokus pada laporan yang sudah lebih dari setengahnya dia kerjakan.

Lingga tampak memusatkan perhatiannya pada pikiran sendiri dan papan keyboard laptopnya. Bunyi detak jam sepertinya sudah tak terlalu mengganggunya lagi. Kecepatan mengetiknya terlihat lancar. Sampai akhirnya, wajah lega tergambar di wajahnya diiringi senyuman puas.

"Selesai!" serunya sambil menarik nafas lega.

Tepat ketika dia telah mengirimkan hasil pekerjaan pada email atasannya, udara dingin mengusap tengkuknya. Sontak, Lingga berdiri tegang. Matanya terfokus pada ruangan di depannya. Lampu sudah tidak menyala di divisi marketing.

"Oh, tidak. Tidak," ucapnya dengan mata nanar ketakutan.

Dadanya mendadak berdegup kencang. Tanpa berpikir lagi, dia segera mengambil tas dan memasukkan barang-barang di atas meja kerjanya sekaligus. Tergesa, dia mengambil tas punggungnya, menutup layar laptop, dan setengah berlari menuju pintu.

Tik tak. Tik tak. Tik tak.

Bunyi detak jam terdengar lebih kencang di kepalanya. Koridor di antara ruangannya dan ruangan-ruangan lain hanya remang-remang. Pak Bagjo, satpam gedung kantor, telah mematikan beberapa lampu. Dia kesal mengapa sore tadi dia lupa memesan pada bapak paruh baya itu untuk tetap menyalakan lampu.

Lingga memegang-megang pundaknya. Dia tak berani menoleh ke belakang. Berusaha fokus pada lorong jalan di depannya yang mendadak terasa lebih panjang dan jauh. Berulang kali dia membaca berbagai macam do'a demi menghalau rasa takutnya. Tidak bisa.

"Lingga..." tiba-tiba terdengar suara pelan memanggil dari belakangnya.

Kakinya mendadak terasa kaku.

"Oh Tuhan. Tidak, tidak. Pendengaranku pasti salah," ucapnya tertahan sambil berusaha tetap berdiri. Dia tak berani menengok ke belakang.

"Lingga..." suara pelan itu benar-benar ada. Suara lelaki.

Tangan Lingga langsung berkeringat. Dia berusaha mengayunkan langkah.

Bluk!

Alih-alih langkahnya terayun, dia malah oleng terjatuh.

Lingga tak berani melihat ke belakang. Terasa betul ada hawa mendekat ke arah punggungnya. Mengendap-endap pelan. Ketakutan berhasil membuat air matanya meleleh. Lingga hanya mampu merundukkan kepala dengan kedua tangannya. Dan itu tak berhasil membuat debar jantungnya mereda.

Terasa ada tangan yang mengusap tengkuknya. Dingin.

"Tidak! Jangan ganggu aku!" teriak Lingga sekuat tenaga.

Dengan mata tetap terpejam mengkerut ketakutan, dia angkat tasnya. Dia gunakan seolah benda itu adalah pedang yang menebas ke belakang tak tentu arah. Dan,

"Aduh!" terdengar suara lelaki yang lebih jelas, setengah meradang.

Tapi sepertinya telinga Lingga sudah dalam keadaan tidak mampu mendengar. Dia makin kencang mengibaskan tasnya bahkan dengan tenaga yang lebih penuh.

"Lingga! Ini aku! Hey! Ini aku!" si lelaki setengah membentak sambil mencengkeram kedua tangan Lingga.

Perempuan berambut panjang diikat kuncir kuda itu akhirnya membuka mata. Menyadari bahwa yang ada di depannya adalah orang yang dia kenal, dia terdiam sesaat.

"Ya ampun. Kupikir rasa takutmu yang berlebihan itu hanyalah gosip. Wah, ternyata serius," lelaki itu berkomentar sambil berusaha menyingkirkan tas Lingga dari hadapannya.

Lingga tak segera menjawab. Dia masih saja menatap terpaku pada rekan kerjanya.

"Hey! Kamu masih sadar kan kalau aku ini Hendra?" ekspresi santai Hendra berubah khawatir.

Mungkin karena terlalu kaget, Lingga tampak kesulitan membuka mulut. Melihat itu, rasa khawatir Hendra semakin menjadi.

"Ling, Lingga, aku... aku minta maaf. Aku tidak tahu kalau kamu..." belum habis ucapan Hendra yang kini terdengar lebih tenang, Lingga langsung meraung menangis. Menangis sejadi-jadinya. Seolah dia menumpahkan seluruh rasa takut yang sedari tadi seperti membekukan badannya.

Kini, lelaki berbadan sedikit gemuk, berwajah ramah, berkulit putih, dengan rambut pendek berjambul yang diwarnai pirang itu lah yang menjadi ketakutan dan merasa bersalah. Hendra melihat ke arah jarum jam tangannya. Berusaha menahan posisi duduknya dengan tetap menundukkan kepala. Lima belas menit telah berlalu.

Buk!

Pukulan keras tas punggung berisi entah apa menumbuk punggung Hendra.

"Kamu jahat!" kata Lingga dengan marah.

"Aku..." Hendra ingin minta maaf.

"Kalau kamu lakukan itu sekali lagi..." Lingga kini telah berdiri menatap galak padanya, mengepalkan tinju.

Hendra ikut berdiri. Tadinya dia hendak melanjutkan kata-katanya.

"Ubah gaya barumu itu! Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba kamu jadi seperti Tintin gagal dengan jambul kuning jelek begitu!" bentak Lingga sambil membalikkan badan penuh marah. Lingga bergegas berjalan menuju pintu keluar. Seolah tak peduli dengan keberadaan Hendra dan bahkan ketakutannya sendiri.

Melihat laku yang berubah drastis itu, Hendra mau tidak mau menahan senyum, geli, sambil mengelus-elus jambul kuning cerahnya.

***


SelubungmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang