Posisi Baru

1.9K 146 21
                                    


Lingga hampir saja terlambat kalau tidak dibangunkan Kunti Dewi dengan kikikannya yang memekakkan telinga. 

Tak ada waktu untuk mandi. Gosok gigi, cuci muka, itu saja yang dia lakukan. Baju polo kantor warna biru dongker tak sempat dia masukkan ke dalam celana jeansnya. Sepatu kets pun talinya masih terurai ketika Lingga naik motor dan melaju menuju kantornya di daerah Gasibu. Dia sampai lupa pakai jaket dan sibuk menahan dingin terpaan angin udara pagi, ngebut dengan kecepatan 80 Km.

Jam menunjukkan pukul 06.55 ketika Lingga memarkirkan motornya. Lima menit lagi dari jam masuk kerja. Perusahaan Danubrata memang menetapkan masuk jam 07.00 pagi, tapi tetap jam kerja berakhir di jam 17.00. Hal yang menurut Lingga, sangat menyiksa.

Setelah keluar dari pelataran parkir, terlihat olehnya, Hendra berlari mengejar Lingga. Jambul kuningnya lepek. Mungkin, dia tak sempat pakai minyak rambut. Sama-sama bangun kesiangan.

"Ling! Tunggu!" teriaknya disela napas tak beraturan. "Tidak terlambat kan kita?"

Lingga sudah membayangkan wajah manajer HRD. Kalau dia terlambat lagi hari ini, surat peringatan kedua akan melayang ke meja Bu Neli. Masalah besar.

"Tiga menit lagi!" Hendra tetap berlari sambil memegang tali tas punggungnya di depan ketiak. Tali pinggangnya melorot.

"Aduh!" Lingga lari lebih kencang, masuk ke dalam gedung.

"Yah. Lift sudah naik. Bagaimana dong?" Hendra menghela napasnya sambil memegang kedua lutut di depan lift. Hendra menatap ke arah Lingga dengan sedih. Yang ditatap langsung jongkok dengan kedua tangan menelungkupi kepala. 

Yang terjadi, terjadilah, ucapnya dalam hati.

"Kalian kenapa?" tiba-tiba terdengar suara khas berat yang sudah dikenal di belakangnya. Bhadra.

"Aduh, Kang. Kita terlambat nih." Hendra menjawab dengan tatapan sayu sambil tetap mengatur napasnya.

"Oh itu. Tidak usah khawatir. Aku sudah bilang ke Bu Rosa," kata Bhadra santai, menyebut nama Manager HRD Danabrata cabang Bandung.

"Oh iya? Wah, syukurlah." Hendra menarik napas lega. 

Lingga langsung berdiri dan membungkukkan badan ke arah Bhadra. Lelaki itu kembali bertampilan super rapi. Rambutnya mengkilap tersisir licin. Baju polo birunya dimasukkan ke dalam celana hitam. Sepatunya kali ini berwarna hitam, semengkilap rambutnya.

"Terima kasih, Pak." Lingga serius mengucapkannya. Terhindarlah dia dari potongan gaji 30% bulan ini. Kiriman bulanan pada Ibunya tidak akan terganggu.

"Nah, lift sudah terbuka. Ayo," ajak Bhadra dengan nada santai yang sama. 

Hendra dan Lingga mengikuti.

Tadinya, Lingga pikir, tidak akan ada hal yang membuatnya harus berpikir keras lagi selama ada di dalam lift. Toh, waktunya sangatlah pendek. Lantai kantor mereka ada di lantai empat. Namun tiba-tiba, Kunti Dewi muncul begitu saja. Melayang-layang di sekitar Bhadra dan mengedipkan mata ke arah Lingga.

"Ling, kamu yakin tak tertarik padanya? Dia ganteng lho," kata Kunti Dewi dengan nada menggoda.

Lingga berusaha untuk mempertahankan sikap tubuhnya. Berdiri tegak menghadap pintu, di sebelah Hendra yang sedang ngobrol dengan Bhadra. Untung hanya ada mereka bertiga.

"Pergilah. Kenapa kamu mengikutiku sih?" balas Lingga dalam hati.

"Eh Lingga, energi spiritual dia luar biasa lho. Sumpah, aku sama sekali tak dapat menyentuhnya." 

SelubungmuWhere stories live. Discover now