Kuntilanak Datang Lagi

2.1K 161 7
                                    

Setelah masing-masing menyimpan barang di kamar yang telah disiapkan, keempat orang itu duduk di kursi yang mengelilingi meja bulat ruangan tengah. Lola sibuk berdecak kagum menatap sekeliling ruangan. 

Lingga pun tampak terpukau melihat dinding kayu yang telah berwarna coklat tua alami. Suasana rumah itu membuat Lingga lupa menanyakan mengenai keeroran kemarin.

Lampu yang menggantung tepat lurus di atas meja, memberikan kesan eksotis. Lampu kuno jaman Belanda yang masih terawat baik. Beberapa bingkai yang menempel di dinding berisi foto-foto para pengrajin batik tulis. 

Lingga suka sekali dengan cara pemilik rumah meletakannya di dinding-dinding. Seolah dia melihat rangkaian kisah perjalanan batik tulis Ciwaringin. Dari yang terlama sampai yang terbaru.

"Jadi, Kang, siapakah nenek dan kakek pemilik rumah ini?" tanya Hendra kepada Bhadra yang terlihat membuka tas.

"Mereka salah satu pengusaha lokal batik tulis di sini. Rasanya sekitar 30% dari para pengrajin di sini, ada dalam kelolaan mereka. Pak Pranadigjaya bersahabat dengan anak sulung Nini Sumi dan Aki Harjo. Ketika klien kita ingin menjadikan batik tulis Ciwaringin ini menjadi produk unggulan fashionnya, aku ingat dengan mereka. Saat aku ceritakan tentang itu, Pak Pranadigjaya memintaku datang langsung ke sini." Bhadra menjawab melebihi pertanyaan.

Lingga sedikit mengernyit mendengar bagaimana Bhadra memanggil ayah kandungnya sendiri dengan nama formal. Selayaknya staf-staf yang lain. Selain itu, dia mulai paham, memang ada alasan kuat dibalik keputusan Bhadra datang ke Ciwaringin. Jelas, itu bukan tindakan iseng.

Sebersit pemikiran lain, muncul di benaknya. Benar, tadi hanya khayalanku. Bola matanya benar-benar hitam kok. Tidak biru.

"Wah, berarti mereka keren ya? Mengelola 30% dari 500an keluarga itu luar biasa," Hendra berdecak kagum.

"Tentu saja. Sudah keren, sangat baik juga. Nah, jadi apakah kalian sudah menerima emailku tentang jadwal kita? Lola mungkin bisa melihatnya dari Lingga," nada kata Bhadra menjadi lebih serius.

Hendra dan Lingga mengangguk bersamaan. Sikap tubuh mereka langsung tegap dan membuka tabletnya masing-masing. Lola segera melihat ke arah tablet yang dinyalakan Lingga.

"Intinya, hari ini kita akan menghabiskan waktu lebih banyak di sini. Kita akan bagi tugas untuk membaca semua profil para pengrajin batik tulis. Dokumennya sudah disiapkan Aki Harjo. Lalu, kita akan diskusikan siapa yang akan kita kunjungi, sekaligus rencana teknis pengambilan gambarnya. Setelah selesai, kita minta Aki Harjo menghubunginya terlebih dahulu," jelas Bhadra sambil melihat ke arah tabletnya juga. 

Lingga dan Hendro mengangguk-angguk.

"Memangnya mengapa harus menghubungi terlebih dahulu?" Lola tak dapat menahan rasa ingin tahunya.

"Di sini para pengrajin adalah juga petani. Pagi-pagi sampai waktu makan siang, mereka ke sawah dan ke ladang. Baru sekitar jam 2 mereka memulai melukis batik," jawab Bhadra.

"Kalau begitu, apakah cukup waktu untuk mengambil gambar, Kang?" tanya Hendra.

"Kan kita sudah menyediakan dana kompensasi, Hen," Lingga mengeluarkan pikirannya.

"Ya, betul itu, Lingga. Aku akan minta bantuan ke Aki Harjo. Kurasa, lebih baik beliau yang menyampaikannya ke pengrajinnya," sambut Bhadra sambil tersenyum melihat sekilas ke arah Lingga.

Menyadari itu, hati Lingga sedikit terkesiap. Memang masih tak mudah baginya bersikap tenang kepada Bhadra. Selain karena posisinya sebagai bos besar, kejadian terakhir di mobil, sikap hangatnya membantu membawa koper, membuat Lingga semakin rikuh. 

SelubungmuWhere stories live. Discover now