Dalam Plasenta Jiwanya

1.7K 140 5
                                    

Dia masuk ke dalam selaput plasenta dan tak peduli dengan suara lengkingan membahana di belakangnya yang makin menyayup ketika badannya terhisap masuk. Lingga menikmati rasa sejuk yang dilaluinya. Ingatan-ingatannya tentang Bhadra, dari saat umur 13 tahun dan saat 19 hari terakhir kuat menyeruak di benaknya, bagai tayangan film dengan gambar jernih dan warna tajam.

Tepat ketika rasa hangat rengkuhan Bhadra, pun ciumannya yang penuh hasrat, tubuh Lingga sudah berubah menjadi dirinya sendiri dan tiba di sebuah ruang dimana Bhadra sedang meringkuk. Badannya ringkih dan layu. Namun ketika dia melihat Lingga berjalan ke arahnya, Bhadra menengadah dan bangkit berdiri.

"Lingga," suaranya terdengar lemah. Sorot matanya sendu. 

Lingga bergegas berjalan dan menghambur memeluknya.

"Kang Bhadra," kata Lingga dengan suara parau, sesak oleh air mata.

"Ba-bagaimana kamu bisa hadir begitu nyata di mimpi ini sekarang? Biasanya setiap kali aku berusaha memelukmu, tubuhmu menghilang. Kamu ke mana saja? Aku kehilanganmu beberapa hari. Kamu pernah mampir ke rumah, tapi kamu pergi lagi. Kamu tidak ada di dekatku. Hantu-hantu jahat itu ingin membunuhmu." Lelaki itu tetap merengkuhnya, dengan isakan yang kentara. 

Syukurlah, dia menganggap ini adalah ruang mimpi, pikir Lingga.

"Aku pulang ke Agrabinta, Kang," jawab Lingga sambil tersenyum.

Mendengar jawaban itu, Bhadra melepaskan pelukannya pelan. Sebuah bangku tiba-tiba muncul di belakangnya. Dia duduk di sana. Lingga segera mengikuti di sampingnya.

"Aku tak suka mendengar nama itu. Ada sesuatu yang mengerikan di sana." Nada suara Bhadra melemah. Dia menundukkan kepala.

"Ya, mengerikan memang. Tapi, Kang Bhadra harus mau mengetahuinya." Lingga membalas dengan nada menenangkan. 

Ya, di ruang ini, Bhadra jauh lebih lemah dibandingkan pribadinya di luar sana. Dia seperti anak berumur 13 tahun yang ada dalam tubuh lelaki usia 32 tahun.

"Mengapa?" Bhadra mendongakkan kepala dan menatap ke arah Lingga.

"Agar Kang Bhadra sehat lagi. Agar Kang Bhadra bisa melepaskan diri dari para hantu jahat." Mata Lingga berkaca-kaca. Ia membalas sorot mata kekanakan Bhadra.

"Betulkah, mereka bisa diusir? Aku sudah letih menuruti semua kemauan mereka. Aku tak suka meniduri perempuan lalu melihat mereka disiksa di depan mataku. Itu seperti yang dilakukan Papa. Tapi, aku tak bisa mengusirnya walau aku sudah berusaha begitu keras. Ketika kamu pergi, aku begitu takut mereka membunuhmu diam-diam. Aku berusaha melawan mereka. Aku berkelahi. Tapi, aku kalah." Air mata Bhadra meleleh di pipinya. Kepalanya menunduk lagi.

"Mereka bisa diusir. Kalau Kang Bhadra yang mengusirnya sendiri." Lingga merengkuh bahu lelaki yang kini terasa ringkih ini. Lelaki yang dia sayangi.

"Betulkah? Tapi, bagaimana caranya? Aku tidak tahu." Suara Bhadra terdengar memelas. Kepalanya terangkat lagi, menatap lekat ke arah Lingga.

"Izinkan aku membantu, Kang Bhadra." Lingga tersenyum dan menahan tangis sekaligus.

"Tentu saja. Bantulah aku," jawab Bhadra dengan sorot mata sungguh-sungguh. Air matanya berhenti mengalir.

Mendengar itu, Lingga tersenyum dan tetap menatap lekat ke arah Bhadra. Dia menarik kedua bahu Bhadra menghadap ke arahnya, merengkuhnya. Perlahan, telunjuk tangan Lingga menelusuri bekas sayatan luka di kening, dari atas ke bawah, yang di alam ini masih jelas terlihat, tak seperti di luar sana. 

Diusap dengan lembut begitu, Bhadra memejamkan matanya. Setelah habis sampai ujung sayatan di bawah, Lingga mengecupkan bibir ke kening itu. Tepat di tengah-tengah bekas sayatan luka. Begitu lama.

SelubungmuWhere stories live. Discover now