Siluman Iframardah

1.6K 128 2
                                    

Lingga melihat ke arah layar teleponnya. Lokasi mengarahkannya ke daerah jalan pintas Dago-Lembang. Jalanan macet. 

Lingga memaki-maki apa pun yang dianggap menghalangi. Tak peduli dengan makian balik yang sama nyaringnya di telinga. Jalanan baru agak kosong saat dia melewati Simpang Dago. Dia melajukan motornya kencang-kencang.

Setelah melewati wilayah Dago Bengkok dan area rumah penduduk, arah menunjukkan ke jalan tanah seukuran jalan mobil, menuju kebun berseling pohon pinus. Lingga memelankan motornya. 

Jalanan sepi. Hanya kebun-kebun yang terlihat. Setelah berkendaraan sekitar satu kilometer, Lingga melihat ada pondok kayu yang terlihat terbengkalai. Terletak di sebelah kanan. Di belakangnya, ada lembahan kebun sayur.

Takut kehadirannya disadari, dia memarkirkan motornya di balik semak yang terlihat lebih rimbun. Dia lepaskan helm dan berjalan setengah berlari sambil menahan agar langkahnya tak berbunyi. Di saat yang sama, dia berusaha mengatur napasnya.

Ketika dia berjalan, mungkin karena sudah mulai bisa berpikir, Lingga baru merasa bahwa dia sudah sangat nekad. Dia langsung bergerak ke sini tanpa memikirkan untuk meminta bantuan siapa pun. Pikirannya mendadak ribut memintanya menghubungi orang lain. Tepat ketika dia sudah berjarak sekitar 20 meter dari pintu rumah kayu rusak, dia mengambil teleponnya. 

Dia mengirimkan lokasi ke nomor Bhadra. Lalu mengetik dengan cepat. Lola dalam bahaya. Aku di sini.

Setelah dia mengetik, Lingga berjalan mengendap lagi. Dia bergerak ke arah pintu dengan langkah yang lebih pelan.

Pondok kayu itu terkesan seperti gudang tua. Beberapa bagian papan terlihat bolong oleh rayap. Engsel pintunya copot satu. Tak dikunci. Di sisi kiri kanan pintu, papan-papan dipasang rapat. Tidak ada jendela.

Lingga menahan napas mencoba melihat ke arah dalam, dari bagian bolong di pintu. Tak terlihat apa-apa di dalam. Kosong. Lingga menarik napas lagi.

Krrttttttt.

Dia membuka pintu. Suara decitan itu terdengar begitu nyaring menurutnya. Lingga merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Ruang berukuran kurang lebih 5 x 6 meter itu lengang, lembab, dan agak gelap. Di lantainya, jerami-jerami kering berserakan. Lingga tidak melihat Lola.

"Lola?" panggilnya pelan.

Tak terdengar suara apa-apa. Lingga melangkah lebih dalam. Dia merasa sangat tegang. Perutnya melilit. Tak ada siapa-siapa di sana. Dia memeriksa sekeliling ruangan. Sampai akhirnya, dia terantuk pada sebuah benda keras. Ujung jari kakinya terasa sangat sakit.

Lingga melihat ke bawah. Di bawah jerami yang agak tebal, terlihat sebuah batang besi menyembul. Segera, Lingga berjongkok dan membuang jerami yang menutupinya. Batang besi itu ternyata sebuah pegangan seperti gagang pintu. Lingga menyingkirkan jerami-jerami di sekitarnya. Ternyata, ada lempengan besi berukuran kurang lebih 1 x 1 meter, yang menempel ke lantai.

"Ada ruang bawah tanah?" gumamnya sambil menggigit bibir.

Lingga merasa badannya sudah gemetaran. Namun, wajah Lola membayang jelas di benaknya. Dia menarik gagang besi itu kuat-kuat.

Brak!

Pintu dengan mudah dibuka. Lingga kaget. Dadanya hampir terasa copot. Dia mengatur napas kembali. Menarik napas panjang, mengeluarkannya dengan cepat. Terasa udara di bawahnya lebih lembab. Bau jamur tercium samar-samar.

Lingga tak mau berpikir panjang. Dia melihat ada tangga di bawah. Perlahan dia turunkan badannya. Dia jejakkan kaki ke papan kayu yang terasa tipis.

SelubungmuWhere stories live. Discover now