Bagian 46

4.4K 296 3
                                    

Author note: Makasih yang sampek saat ini selalu nunggu aku up dan terus like setiap bagian ceritaku. Readersnya makin naik, beberapa kali juga udah masuk 500 besar teenfiction. Padahal baru dikit yg view. Makasih dukungannya. Jangan lupa buat selalu vote, karna 1 vote berharga bgt buat kelanjutan cerita ini. Happy reading:)

***
Sehari berlalu, tapi bayangan akan Demian yang menatapnya begitu dalam membuat Riana frustasi. Tatapan kebencian Demian yang ia rasakan seolah ingin menghancurkan Rio melalui dirinya, membuat ia gelisah sendiri.

Riana sudah beberapa kalik mondar-mandir di depan cermin sambil memegang ponselnya. Ingin sekali ia menghubungi Rio, tapi sudah pasti pria itu tidak akan merespon telpon masuk darinya. Semua percuma saja.

Sikap acuh Rio padanya bisa ia rasakan bahwa pria itu melakukannya dengan terpaksa. Ia yakin Rio pasti sedang menyembunyikan sesuatu tanpa memberitau dirinya. Ia percaya, bahwa Rio punya alasan kuat mengapa pria itu harus menjauhhi dan mengacuhkan dirinya tanpa ada angin dan hujan di antara hubungan mereka.

"Aku masih punya waktu 2 hari sebelum masa perpindahanku dari sekolah." Riana mengigit bibir dalamnya ragu.

"Selama 2 hari kedepan aku yakin, pasti aku bisa buat Rio buka suara tentang hubungan kita. Dia pasti nyembunyiin sesuatu dari aku." Riana menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Tiba-tiba saja ia menangis, mengingat akan sikap Rio yang tak bisa ia mengerti.

Tiba-tiba pintu kamarnya di ketuk. Membuat Riana gelagapan sendiri dan segera mengusap air matanya kebingungan.

"Ana, ayo makan malem dulu sayang." Suara ibunya dari luar kamar Riana.

"Iya mah. Sebentar lagi Ana nyusul."

"Yaudah mama tunggu di bawah ya."

"Oke mah." Jawab Riana cepat.

Ia segera masuk ke kamar mandi dan membasuh mukanya berulang kali. Setelah itu menyusul keluarganya untuk makan malam bersama.

***
"Kenapa kamu jadi buat taruhan!!" Sentak Rafa yang tak setuju dengan jalan pikiran sepupunya.

"Slow mate, caramu itu terlalu kuno. Kalau cuma bisa menggretak doang, mereka gak bakal ada habisnya buat ngelawan. Sekali-kali kita harus berani perang nyawa."

"Sick! Nyawa, kamu buat main-main? Tujuanku itu cuma Vanny! Bukan pria bodohmu itu De!"

"Ngapain kita susah-susah dapettin satu orang kalau kita bisa langsung ngerebut 2 orang dan 1 nyawa sekaligus?" Sela Demian lalu meneguk minumannya.

"Aku gak ngerti lagi sama jalan pikiranmu. Gak seharusnya kamu taruhan nyawa begitu!" Ucap Rafa terdengar kecewa.

"Kamu tenang aja. Bagaimanapun juga pasti kita yang menang, kita juga bisa main pintar di dalamnya."

"Sebenernya apa yang kamu mau? Uang? Aku udah kasih uang lebih ke kamu."

"Sorry Fa, itu belom cukup buat aku. Sekarang aku cuma mau gadis itu dan nyawa Rio. Untuk bonusnya kamu bakal dapat Vanny, tanpa penghalang apapun. Gimana, pasti kamu setuju kan?" Rafa terdiam berpikir.

"Gadis? Siapa? Kamu lagi jatuh cinta?"

Demian terkekeh lalu mengubah posisi duduknya dengan benar.

"Ntah, aku rasa dapat nyawa Rio belom cukup buat aku. Mungkin gadis itu bisa menyempurnakan pembalasan dendamku." Rafa menelan salivanya pelan-pelan. Demian terkesan sangat misterius dan tak mudah di tebak. Bahkan dirinya juga harus berhati-hati dengan sepupunya sendiri.

"Apa kamu gak takut sama polisi De? Kalau orang tuanya nuntut kamu gimana?" Tanya Rafa hati-hati.

Demian lalu terkekeh.

Silent ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang