9. Khawatir

23.6K 1.5K 111
                                    

Lo adalah alasan orang lain tertawa, jangan pernah menghilang dari bumi, apa lagi hati ini
***

"Anggit Rahesa Yudistira!"

"Turun woy!"

Teriakan Abi terdengar sampai ke kamar Anggit. Padahal Anggit tahu kalau kakaknya itu sedang berada di ruang makan, bersama kedua orang tuanya dan juga adiknya, Alin.

Tanpa menghiraukan teriakan Abi, Anggit kembali menjalani rutinitasnya dikamar, diraihnya empat bulir pil yang kemudian langsung tandas ditelannya. Dengan cepat cowok itu meraih tas punggungnya lalu berjalan keluar dari kamar menuju meja makan dimana terdapat seluruh keluarga kecilnya berkumpul.

"Pagi mi, pi." Sapa Anggit singkat.

"Pagi sayang," balas kedua orang tuanya hampir serempak "Udah minum obat?" Tanya Kinanti-ibu Anggit sembari tersenyum menatap putranya itu.

Anggit hanya menjawab dengan anggukan.

"Dandan lo lama bangsat, kek anak perawan," celetuk Abi setelah Anggit mengambil posisi duduk disampingnya.

"Abi! Kamu manggil adek kamu apa barusan?" Hardik Irawan sembari menatap Abi tajam.

"Anak perawan." Jawab Abi polos.

"Bukan, yang satunya lagi!" Geram Irawan kepada putra sulungnya.

"Oh, Bangsat Pi." Kata Abi santai yang langsung mendapat pelototan dari kedua orangtuanya "Artinya bangsa tanah air." Abi kembali beralasan sambil cengengesan "Bener kan git?" Abi menyenggol bahu kiri Anggit pelan.

"Setan" Anggit berguman.

"Wohh parah, Papi denger nggak tuh?" Teriak Abi heboh "Masa anak Papi yang ganteng nan solehah ini dipanggil setan, Papi terima?"

Irawan menghela napasnya "Sholeh Abi, bukan Sholehah." Koreksi Irawan.

"Ouh iya bapake." Kata Abi.

"Panggil Papi, jangan panggil bapake," geram Irawan "Dan Anggit, jangan manggil kembaran kamu kaya gitu." Lanjutnya berganti menatap putra satunya.

"Tuh denger," Abi kembali menimpali.

Anggit hanya mendengus pelan, entah mimpi apa yang dia alami saat masih menjadi janin hingga punya kembaran seperti Abi?

"Anggit, lo mimisan?" Pekik Alin heboh dan sukses membuat seluruh keluarganya melayangkan tatapan ke arahnya. Benar saja, tercetak aliran darah yang mengalir melalui hidungnya yang buru-buru Anggit usap menggunakan tangannya.

Melihat hal itu Kinanti langsung menghampiri Anggit kemudian menyeka hidung putranya itu menggunakan tisu dengan raut yang terlihat khawatir "Hidung kamu kenapa bisa mimisan lagi sih?"

"Ini mungkin karena berantem kemarin Mi, hidung Anggit kena pukul." Jawab Anggit datar.

"Mami nggak ngebolehin kamu sekolah hari ini, nanti Mami panggilkan dokter ke rumah."

Anggit menghela napasnya "Mi Anggit nggak papa."

Kinanti mengusap rambut Anggit pelan sembari menatapnya sendu "Mami mohon, kamu nurut sama Mami ya, jangan berangkat dulu ya?" Anggit menahan napasnya melihat Kinanti yang berkaca-kaca "Mami sayang sama Anggit, nurut ya?"

FlycatcherWhere stories live. Discover now