48. Titik terlemah

14.5K 1.4K 1.1K
                                    

So look me in the eyes, Tell me what you see

Perfect paradise, Tearing at the seams

I wish I could escape, I don't wanna fake it

Wish I could erase it, Make your heart believe

But I'm a bad liar

Bad liar by Imagine Dragons

***
Mulmed boleh diputer kalau kalian suka baca sambil dengerin musik.

I dare you, komen di setiap paragraf berani? Xoxo

Anggit menatap bayangan dirinya sendiri dikamar mandi. Sudah hampir 15 menit dia berdiri disini. Membawa sebuah ponsel yang menghubungkannya dengan gadisnya.

"Terus gimana?" tanya Anggit.

"Papi, maaf. Aku tau aku banyak salah sama Papi, tapi aku kangen kaya dulu lagi. Aku pengen disayang lagi sama Papi."

"Ck, cringe banget," potong Anggit cepat. Terdengar hembusan napas kasar dari Laura.

"Itu udah paling sopan Nggit. Kalau lo mau minta maaf sama bokap lo nggak boleh irit ngomong," ujar Laura menyarankan. Sedari tadi dia sudah menyiapkan beberapa susunan kalimat maaf untuk membantu Anggit. Tapi satu pun tak ada yang pas.

Anggit mengusap wajahnya gusar. Mengapa terasa sulit mengatakan kalimat itu tepat di depan ayahnya. Bahkan dia sampai harus meminta bantuan dari kekasihnya. Tapi tetap tidak berhasil. Bibirnya terasa kelu.

"Kalau gini gimana." Anggit menarik napas sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya, "Oh Papi, maukah kau memaafkanku?"

"Bego, malah kaya lamaran," ejek Laura semakin membuat Anggit frustasi.

"Yaudah nanti gue coba saran lo," ujar Anggit pada akhirnya.

"Nah gitu dong, semangat sayang."

"Iya, udah ya? Kelamaan berdiri bikin gue lemes," balas Anggit.

"Lo nggak papa kan? Gue khawatir banget kemarin pas lo bilang sakit. Gue sampe nangis Nggit," ujar Laura dari seberang telfon.

"Cengeng."

"Setan lo emang!" maki Laura. Anggit hanya terkekeh pelan kemudian mematikan panggilan itu secara sepihak. Dia meletakkan ponselnya di laci kamar mandi.

Cowok itu lalu keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai. Terlihat Irawan sedang sibuk membaca majalah disofa. Kinanti sendiri sedang keluar membeli makanan. Itu artinya hanya ada Anggit dan ayahnya disini.

Anggit melangkahkan kakinya perlahan, namun tubuhnya terlalu lemas saat ini hingga membuat keseimbangannya goyah.

Brakk

Tubuh Anggit terjatuh menghantam lantai dengan keras. Rasa nyeri pada perut atasnya menyerang begitu saja. Anggit meringis pelan. Sialan mengapa harus disaat seperti ini penyakitnya kambuh.

"Papi–" guman Anggit perlahan, berharap dirinya segera mendapat sedikit bantuan.

"Bangun! Saya tidak akan tertipu dengan drama sialan kamu."

Kalimat itu seolah membungkam Anggit. Dia mengurungkan niatnya untuk meminta bantuan pada ayahnya. Darah infus di tangannya naik karena posisi selangnya rendah. Dengan gerakan cepat Anggit melepas infus ditangannya. Membuat aliran darah keluar dari sana. Anggit menggigit bibir bawahnya menahan agar tidak berteriak.

FlycatcherWhere stories live. Discover now