41. Perjuangan lulus

17.7K 1.5K 1.1K
                                    

VOTE DULU BARU BACA YA..
SPAM KOMEN JUGA BIAR RAME

***
Kita itu solid, masuk bareng lulus juga harus bareng, nggak ada kalimat nakal dulu baru sukses, karena kesusksesan juga butuh usaha.

***

Mentari sudah menampakkan sinarnya namun kedua mata Anggit masih setia mengerjap. Dia bahkan belum tidur semalaman. Pikirannya masih berkutat pada Abi yang kini belum ada kabar. Hingga sebuah garis hitam tipis terbentuk di kelopak bawah matanya. Dia yakin penampilannya sangat kacau saat ini.

Laura sendiri sudah pulang semalam, meskipun harus dengan paksaan ekstra. Anggit hanya tidak ingin gadis itu kelelahan apalagi besok bukan lah hari libur.

Mengenai kondisi kesehatannya, dia tidak berbohong. Dokter sendiri yang mengatakan penyakitnya sudah stadium akhir, meskipun terasa berat namun Anggit mencoba menerimanya. Toh ini memang kesalahannya, bisa dikatakan Anggit telat penanganan. Ingat? Anggit hanya sekali melakukan kemoterapi dan itu pun karena paksaan. Sepertinya metode kemoterapi tidak lagi efektif. Entah metode apalagi yang akan dokter gunakan untuk mengatasi penyakitnya.

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, menampilkan wajah seseorang yang sangat mirip dengannya. Cowok itu langsung berlari kearahnya dan menghamburkan tubuhnya, memeluknya erat.

"Dedekk, gue kangen banget sama lo," ujar Abi yang masih memeluknya.

Anggit masih terdiam membiarkan Abi memeluknya beberapa saat. Jujur saja dia juga lega Abi baik-baik saja.

"Ngapain lo nyerang mereka dan bawa narkoba segala? Udah gila ya lo?" Anggit Memelankan nada bicaranya. Untungnya hanya ada mereka berdua di ruangan ini. Anggit memang sudah tidak tahan untuk memaki tindakan Abi.

"Darimana lo tau gue bawa narkoba?"

"Waktu lo jengukin gue, lo ngeluarin bungkusan dari kantong lo..." Kalimat Anggit terjeda sesaat. "Terus lo mewek," lanjutnya dengan raut mengejek.

"Sialan kata siapa gue mewek," runtuk Abi "Tapi gue nggak nyesel lakuin itu, lo harusnya tadi liat wajah Rio yang melas waktu polisi mau ngelakuin tes urine."

Abi kini tertawa puas. Kemudian tatapannya kembali beralih pada Anggit. "Tenang aja, gue negatif narkoba kok."

"Iya, negatif narkoba, positif gila," sahut Anggit kesal.

Abi berdecak pelan, "Lagian sekarang gue baik-baik aja, walaupun bebas secara bersyarat dengan bayar denda."

"Papi bakal lakuin apa aja buat bebasin lo," kata Anggit dengan raut datarnya. "Dia marah banget waktu tau lo ditangkap cuma gara-gara gue. Lo tau dia sayang banget sama lo kan? Karena itu gue mohon, jangan pernah lakuin hal nekat apapun karena gue. Lo bikin dia tambah benci sama gue, Bi."

Abi menyengit tak suka, "Maksud lo ngomong kaya gitu apa?"

Anggit memutar matanya jengah, "Emang itu kenyataannya, Papi makin benci sama gue karena tindakan lo."

"Lo cemburu sama gue? Lo udah dapet semua perhatian dari Mami, dan sekarang lo cemburu cuma karena Papi care sama gue?" Tanya Abi, rautnya kini berubah serius.

"Gue nggak pernah minta perhatian dari Mami. Lo tau alasan kenapa Mami ngasih perhatian besar ke gue, Bi. Lo pikir gue mau sakit kaya gini?"

Abi menghembuskan napasnya kasar, "Maaf gue nggak bermaksud ngomong gitu."

Anggit terdiam sesaat, merenungi kalimat Abi barusan. Tak bisa dipungkiri dia rindu kasih sayang ayahnya. Apakah itu salah? Dulu Anggit masih melihat kasih sayang setiap kali ayahnya menatapnya. Tapi kini? Hanya rasa benci yang terpancar dari kedua mata ayahnya. Bahkan sebutan 'anak sialan' terlontar dari mulut ayah kandungnya sendiri. Membuat Anggit merasa hidupnya benar-benar tidak berguna.

FlycatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang