29. Keputusan

16.4K 1.2K 77
                                    

Didedikasikan untuk nirmala_sy

Karena kemarin kalian banyak yang komen jadi gue semangat nulis, tetap komen dan tinggalkan jejak ya.

***
Jangan menjadi setengah, tapi jadilah seluruh agar aku bisa memberi mu kebahagiaan yang utuh.

***

Laura berjalan cepat menuju kelasnya dengan kedua tangan menutupi telinganya. Sedangkan dibelakangnya terdapat Anggit yang berusaha menjelaskan sesuatu padanya.

"Ra, dengerin dulu."

"Nggak! gue pake kacamata jadi nggak denger."

Anggit menghembuskan napas kasar. Lagipula ini bukan salahnya, dia hanya memberitahu Laura yang sebenarnya mengenai istilah 'Nyabun'. Laura yang terlanjur malu langsung berlari dari kantin dengan wajah merah. "Lo sih yang sok tau, pake acara nyuruh gue nyabun dua kali sehari."

Langkah Laura berhenti seketika dan menatap Anggit tajam "Yakan gue nggak tau artinya. Pokoknya gue mau ke kelas dan jangan ikutin gue! Gue malu!"

"Oke."

Anggit menghentikan langkahnya, membiarkan Laura berlari ke kelas dengan ekspresi malu. Namun baru beberapa langkah Laura sudah kembali menatapnya "Anggit.." panggil gadis itu sedikit berbisik.

"Hm?"

"Lo beneran sering nyabun?" Tanya Laura dengan bisikan pelan, namun Anggit masih bisa mendengarnya.

Tentu saja tidak, jawab Anggit didalam hati. Namun bukan kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Anggit malah tersenyum menggoda Laura. "Menurut lo?"

"Ih gatau ah! Bodo amat!" Kesal Laura lalu kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan Anggit yang masih setia mamatung dikoridor.

Dalam hati, Anggit tertawa puas dengan tingkah Laura. Sungguh, gadis itu sangat menggemaskan. Dia bahkan tidak percaya Laura sepolos itu.

Namun tiba-tiba

Tes.

Anggit menyengit seketika, rasa anyir langsung memenuhi tenggorokannya. Tangannya meraba bagian bawah hidungnya dan menemukan noda darah disana. Karena panik, Anggit berlari menuju kamar mandi. Dia menatap malas bayangan dirinya sendiri pada kaca wastafel.

Seorang cowok dengan wajah putih pucat dan bercak darah disekitar hidungnya. Sungguh miris, batin Anggit.

Sialan, mengapa darah sialan itu harus keluar dari hidungnya. Dengan tergesa Anggit melepas baju osisnya dan menyeka darahnya. Membuat bercak merah memenuhi sebagian kain putih itu. Untung saja Anggit masih mengenakan kaos putih polos.

"Harusnya lo pake tisu."

Tubuh Anggit terdiam seketika, diliriknya Rangga yang berdiri tak jauh darinya dan menatapnya khawatir.

"Nggak ada." Anggit menjawab sekenanya. Membuat Rangga berjalan lebih dekat. "Apa yang bisa gue bantu?" tawar cowok itu.

"Yakin mau bantu?" tanya Anggit. Rangga mengangguk cepat. "Jangan bilang siapapun, terutama Laura," lanjutnya. Menepuk pundak Rangga dua kali sebelum akhirnya berjalan keluar dari toilet.

"Lo mau kemana?" tanya Rangga penasaran.

Anggit menggendikan bahu acuh "Pulang."

"Mau gue ijinin BK?"

Anggit menggeleng kemudian menatap Rangga datar "Penting?"

Rangga mengangguk paham, bagaimana dia lupa kalau sedang berhadapan dengan Anggit? Siswa yang tidak pernah peduli terhadap aturan sekolah. "Nanti anak-anak mau kumpul, mau bahas kegiatan liburan."

FlycatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang