ALVASKA 33

358K 41.8K 13.7K
                                    

"Sini." Alvaska menepuk sisi ranjang di sebelah kirinya. "Tidur bareng gue."

Kana berdecak. "Nggak usah modus. Bisa?"

"Siapa yang modus?"

Kana semakin kuat menjambak rambutnya frustrasi. Cewek itu menjatuhkan diri lalu bersandar di balik pintu ruangan rumah sakit.

Kana menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya kalut. Jikalau nanti Kana masuk ke ruang BK, orang yang pertama kali Kana banting adalah Alvaska.

Alvaska menghela napas berat. Cowok itu melepaskan infus di tangannya kasar, hingga tanpa sadar membuat punggung tangannya terluka, mengeluarkan darah.

Alvaska turun perlahan dari atas brankar. Cowok itu berjalan tertatih mendekati Kana yang masih bersandar di balik pintu ruangan. Tubuh Alvaska begitu lemas tanpa tenaga. Ini adalah pertama kalinya Alvaska terlihat lemah di hadapan banyak orang.

Alvaska berjongkok di hadapan Kana. Cowok itu menggenggam erat kedua telapak tangan Kana yang di gunakan untuk menutupi wajahnya. Alvaska bisa merasakan  jika Kana saat ini tengah kalut luar biasa.

Kana menurunkan tangannya dari wajahnya perlahan saat merasakan seseorang menggenggam erat kedua telapak tangannya, dan mendapati Alvaska yang entah kapan sudah berjongkok di hadapannya.

"Lo-"

Ucapan Kana terhenti ketika Alvaska tiba-tiba saja menarik lengan kanannya dan mendekap tubuhnya erat. Kana menahan napas saat jarak tubuhnya dan Alvaska begitu dekat, nyaris tanpa jarak.

Alvaska meletakkan tangan kirinya di tengkuk leher Kana yang terbuka. Cowok itu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Kana yang terasa hangat, membuatnya seketika merasa nyaman.

"Jangan jauh-jauh dari gue, Ka," Alvaska berkata parau.

Kana memejamkan mata. "Lo siapa?"

--Alvaska--

Sudah dua hari semenjak Alvaska keluar dari rumah sakit. Keadaan cowok itu juga sudah mulai membaik. Plester di dahinya yang terluka juga sudah di lepas, meninggalkan bekas luka memanjang di sekitar matanya, membuat wajah Alvaska semakin terlihat keren.

Bahkan Jazi, cowok itu sengaja melukai dahinya sendiri agar bisa terlihat keren dengan memiliki luka memanjang di sekitar matanya seperti sahabatnya, Alvaska. Tapi usahanya gagal karena Jazi melukai dahinya tanpa meninggalkan bekas.

Raga mendongak, menatap langit yang tampak menggelap. "Sebentar lagi hujan, menurut gue."

Sore ini, awan tampak mendung dengan beberapa tetes air yang jatuh membasahi rumput. Alvaska dan keempat sahabatnya, juga beberapa anak geng motor Alvazars tengah berkumpul di halaman belakang rumah pribadi milik Alvaska, rumah pemberian dari Kakeknya, Lergan.

Rumah itu memiliki air terjun berukuran sedang di tengah halaman. Desain rumah Alvaska juga tidak jauh beda dari rumah orang tuanya, lebih di dominasi warna abu-abu dan juga terdapat banyak tumbuhan dan pohon yang tumbuh di sekeliling taman, membuat udara terasa sejuk dan segar.

"Gue juga mikir gitu," kata Arkan yang tengah duduk di kursi halaman. "Apa kita pindah ke dalam aja?"

"Nggak perlu," kata Alvaska. Cowok yang saat ini tengah berbaring di kursi memanjang itu menutup matanya perlahan, membiarkan tetes demi tetes air mata sang awan jatuh membasahi wajahnya.

"Mending lo masuk Va. Nanti lo sakit," kata Jazi. Cowok itu tidak mau jika Alvaska kembali sakit.

"Lo  juga kan baru keluar dari rumah sakit," sambung Fadel yang duduk bersebelahan dengan beberapa anak geng motor Alvazars di atas rumput halaman belakang rumah Alvaska yang terawat.

ALVASKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang