ALVASKA 69& 70

776K 49.9K 246K
                                    

Alvaska melempar jatuh tas ranselnya ke bawah lantai kamar lalu membanting tubuhnya sendiri ke atas sofa. Kosong, pandangannya menatap langit-langit kamar yang temaram sambil menekan dadanya yang sejak tadi berdenyut nyeri. Alvaska terbatuk sambil memukul-mukul kuat dada kirinya yang terasa begitu sakit.

"Shh...." memilih duduk, Alvaska mengambil botol air mineral yang berada di atas nakas, lalu meminumnya hingga tandas. Bermenit-menit, keheningan mengisi ruang diantara kesendiriannya. Alvaska terdiam lama. Matanya tertutup sayu. Beberapa menit setelahnya, cowok itu tercekat saat merasakan sesuatu yang berdesakan ingin keluar dari lehernya. Menahan nyeri, dia menunduk hanya untuk menghembuskan napas sesaknya yang serasa mencekik. Detik itu juga, Alvaska terbatuk -memuntahkan air dan darah begitu banyak dari dalam mulutnya hingga mengotori seragam sekolah yang cowok itu kenakan. Tangan dan wajah Alvaska berlumuran darah. Napasnya terasa semakin sesak. Alvaska membekap mulutnya sendiri saat cowok itu kembali memuntahkan darah. Dia jatuh berlutut dengan satu kaki menahan tubuhnya yang kian melemah. Alvaska meremas dadanya semakin kuat. Sesak. Dia kesulitan bernapas.

"Shh.." Dengan tangan bergetar, Alvaska mengusap darah yang mengalir di bibirnya dengan punggung tangan. Dia menunduk -menatap darahnya yang berceceran di bawah lantai kamar nanar.

Alvaska merangkak untuk menggapai Ranselnya yang tergeletak di bawah lantai dengan isi yang sudah berhamburan keluar. Cowok itu membuka ranselnya. Dia mengeluarkan sebuah botol pil berisi obat-obatan. Sejenak Alvaska menatap pil itu ragu, tapi lantas membuka tutupnya, bermaksud untuk menelannya. Baru sedetik setelah tutup botol itu terbuka, Alvaska cepat-cepat menutupnya. Dia melemparkan botol itu ke sebelahnya lalu membekap mulutnya sendiri saat dia kembali memuntahkan darah, membuat darah segar mengalir dari sela jari. "Shh...."

Detik yang sama, ponsel di saku seragam cowok itu bergetar. Alvaska tertegun begitu membaca nama yang tertera di layar ponselnya. Dokter Fahri. Ragu, Alvaska mengangkatnya. "Ha-halo?"

"Halo, Alva, kamu ada di mana sekarang?"

Alvaska terdiam lama sambil menggigit bibir bawahnya menahan sakit. "Dokter nggak perlu khawatir," bisik Alvaska menolak untuk menjawab pertanyaannya.

"Alva, kamu baik-baik saja kan?"

"Ya," jawab Alvaska cepat.

"Sepertinya kamu tidak akan mendengarkan ucapan saya dan Dokter Ryan. Pil obat-"

"Dokter tenang aja," potong Alvaska. Dia berdesis berusaha menetralisir rasa sakit yang kian menjadi-jadi.

Terdengar helaan napas panjang dari Dokter Fahri. "Obatnya jangan lupa diminum. Dan...." Desakan Dokter Fahri kali ini membuat Alvaska benar-benar memutuskan sambungan. Cowok itu kemudian menonaktifkan ponselnya, berjaga-jaga kalau Dokter Fahri kembali meneleponnya.

Alvaska mengaduk isi ranselnya lagi sampai menemukan dua botol pil berukuran lebih besar dari sebelumya. Dia mencengkeram botol itu keras, lalu melemparnya ke dinding kamar, membuat isinya berhamburan ke segala arah. Cowok itu terduduk lemas di lantai, menatap nanar ke arah pil-pil yang berceceran. Pil-pil yang kabarnya dapat menyelamatkan nyawanya dan juga mengurangi rasa sakitnya. Memikirkan hal itu membuat dada Alvaska mendadak sakit. Cowok itu terseyum miris. "Dengan atau tanpa adanya pil itu, gue juga bakalan tetap mati."

--Alvaska--

Awan berkabut. Langit masih kelabu. Udara sekitar terasa dingin menyentuh kulit. Burung-burung terdengar riang bernyanyi. Kicauannya menemani aktifitas manusia di pagi itu.

ALVASKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang