04

149K 10.2K 508
                                    

____

Rio saat ini sedang tertidur setelah menangis lama. Anin dengan setia mengelus rambut coklat anaknya dengan lembut. Sesekali air matanya menetes. Ini terlalu berat untuk ia lewati.

"Nduk, makan dulu udah malem, sekalian bangunin Rio-nya."

Anin menggeleng pelan ia tak sanggup meninggalkan anaknya seorang diri meskipun masih satu tempat.

"Anin belum laper nek," Anin terus mengusap pelan rambut Rio dengan kasih sayang.

"Makan dulu nanti kamu sakit siapa yang jagain Rio? Nenek sih mau aja jagain tapi nenek kan sudah tua," nasihat nenek membuat Anin beranjak dari tempat tidur.

Ia berjalan menuju dapur ditemani nenek. Anin makan dengan diam. Pikirannya saat ini sedang kacau.

"Habis makan kita ngobrol sebentar ya nduk," ucap nenek lalu melangkah menuju ruang tamu yang merangkap ruang keluarga.

Anin selesai dengan makannya, ia segera menemui nenek dengan membawakan secangkir teh hangat kesukaan nek Ima.

"Di minum nek,"

Anin duduk di sebelah nek Ima. Ia menyandarkan punggungnya di sofa seraya memijit kepalanya yang terasa pusing karena terlalu lama menangis.

"Nenek mau ngobrol tentang apa?"

Nek Ima menaruh cangkir ke tempat semula setelah menyicipnya sedikit. Ia melihat Anin yang tengah memijit kepalanya. Tangannya terulur untuk membantu memijit.

Anin yang merindukan sosok ibu langsung merebahkan kepalanya di paha nek Ima. Anin menahan tangisnya yang membuat dadanya sesak. Teramat sesak.

"Masalah ayah biologisnya Rio,"

"Iya nek,"

Nenek mengelus kepala Anin dengan sayang. Ia memang tak memiliki anak sehingga saat bertemu Anin ia memperlakukan Anin seperti anak sendiri.

"Kamu tahu siapa ayah biologisnya?"

Anin memang menceritakan tentang kejadian satu malam itu pada nenek. Namun ia menyembunyikan siapa yang melakukannya. Anin cukup tertutup akan hal itu. Sebab itu sama saja membuka luka lamanya yang masih belum kering sepenuhnya.

Anin mengangguk, "Namanya Bryan. Aku nggak tahu siapa nama lengkapnya tapi temennya cuman nyebut Bryan."

Nenek dengan setia mendengarkan seraya tangannya yang mulai keriput mengelus rambut Anin dengan sayang.

"Aku nggak mau minta tanggung jawabnya karena sama aja aku nyerahin anak aku buat dia. Dia menginginkan seorang anak supaya keluarganya nggak ngerecokin dia terus-terusan.

Aku berjuang sendiri selama ini dan aku nggak mau usahaku mempertahankan Rio sia-sia. Kalo pun kita bertemu aku nggak akan bilang Rio anaknya. Aku nggak mau Rio di ambil nek, hiks."

Anin terisak setelah menceritakan semuanya. Ia menumpahkan air matanya di paha nenek Ima. Punggungnya bergetar dan suara isakan terdengar nyaring.

Nek Ima mengelus lengan Anin bermaksud menenangkan. Namun tangis Anin semakin kencang.

Rio bangun dari tidurnya. Ia mengucek matanya lalu mulai memperhatikan sekitar. Ia tak menemukan keberadaan mamanya. Rio keluar dan mendapati mamanya tengah menangis di paha neneknya.

Ich Liebe Mama! ✓ [END]Where stories live. Discover now