28

85.5K 5.7K 62
                                    

___

"Syuuttt, kamu pasti bisa. Aku di sini." Bryan membisiki Anin yang tengah terengah menahan sakit di bawah sana.

"Pak, ini ibunya harus di operasi, bapak bisa ngurus administrasi terlebih dahulu." seorang suster menghampiri Bryan dengan membawa kertas dan pulpen.

Anin membuka matanya yang sedari tadi terpejam. "A-ku mau n-orma-l.."

Bryan menatap Anin yang sedang menahan sakit lalu menatap suster. "Nggak bisa normal aja, sus?"

"Bisa pak, tapi resikonya jauh lebih besar."

"Sayang, operasi aja ya?" bujuk Bryan. Ia menatap mata Anin yang menatapnya tajam. "Pokoknya normal!"

"Jangan bikin tambah ruwet! Keselamatan kamu lebih penting!" sentak Bryan membuat Anin terdiam kaku.

Shit! Salah ngomong lagi batin Bryan.

"Kamu nggak mikirin anak kamu? Jahat banget kamu nggak nganggep dia. Kasian banget dia nggak di anggep sama papanya sendiri," Anin tertawa miris. Ia mengusap perutnya untuk menyemangati diri dan calon anaknya yang akan segera lahir.

Bryan mengacak rambutnya. Ia duduk di sebelah Anin dan meraih tangannya yang ada di atas perut. "Bukan gitu. Aku .. aku takut terjadi sesuatu sama kamu," Bryan menenggelamkan kepalanya di perut Anin.

Anin menghela nafas saat melihat bahu Bryan bergetar. "Nggak mas. Kamu percaya sama aku. Aku bakal baik-baik aja."

"Kamu tetep mau normal aja?"

"Iya aarrggghhh! Sa ... kit mas," erang Anin saat perutnya mulas menandakan bahwa bayi mereka akan segera lahir.

Bryan berdiri dan menyuruh suster tadi memanggil dokter. Tak lama, dokter datang dengan tergesa-gesa. Ia mengecek apa kah sudah pembukaan terakhir atau belum.

"Ibu dan bapak berdoa ya. Ini sudah waktunya lahir, dan ibu rileks aja. Bapak bisa menyemangati istrinya di sini. Kalo belum saya suruh ngejan, jangan dulu ya bu. Tahan," dokter menyunggingkan senyum lalu menutup pembatas mereka dengan kain.

Bryan menatap sedih istrinya yang sudah banjir keringat itu. Ia ingat ibunya yang sudah pergi ke atas terlebih dahulu. Ia menyesal karena masih belum bisa membahagiakan ibunya. Bryan menguatkan dirinya dengan mencoba tersenyum.

"Eeeeerrghhh!! Hah hah hah!" Anin menghirup nafas sebanyak-banyaknya. Dokter sudah menyuruhnya mengejan dan mendorong agar bayinya keluar.

Bryan mengecup tangan Anin guna menguatkan wanitanya. "Ayo sayang, kamu pasti bisa."

"Sa-kit mas, eeeerrrghhh!! Hah hah hah!" Anin meneteskan air matanya merasakan sakit luar biasa di bagian bawah tubuhnya. Ia sudah pernah merasakan bagaimana sakitnya melahirkan tapi ia tak pernah menyesal untuk melahirkan buah hatinya ini.

"Ayo Bu terus dorong. Kepalanya sudah kelihatan," dokter memberi aba-aba. Anin menghirup nafas dalam-dalam lalu dengan sekuat tenaga mengejan dan akhirnya bayi mereka lahir dengan selamat.

"Oooeeekkk! Oeeekk!" tangisnya begitu keluar dari perut sang mama. Bryan menatap Anin haru. Ia tak percaya berhasil menemani persalinan Anin. Bryan mengecup kening Anin lalu turun ke bibir. Meluapkan semua emosi.

Bryan melepas pagutan bibirnya. "Terima kasih, sayang."

Anin yang tenaganya masih belum pulih hanya bisa mengangguk. Bayinya sedang dibersihkan. Ia meminta tolong Bryan untuk mengambilkan minum.

"Selamat pak, Bu, anaknya cantik. Lahir dengan selamat dan lengkap." suster memberikan bayi merah tersebut ke pelukan Anin. Suster dan dokter keluar saat sudah membersihkan dan menjahit kewanitaan Anin.

"Adzanin dulu, mas." Bryan sontak gelagapan. Ia kikuk menggendong bayinya. "Jangan tegang gitu. Rileks aja. Hati-hati kepalanya belum ada ototnya."

Bryan menggendong anaknya dengan hati-hati sesuai perintah Anin. Ia dengan lamat-lamat mengucapkan lafadz adzan di telinga anaknya. Anin tersenyum haru melihat pemandangan di depannya. Melupakan masalah yang membuatnya harus melahirkan dadakan.

Rio masuk bersama Brad dan Gea. Mereka kini sudah berpindah di ruangan VVIP yang luasnya hampir menyamai kamar mereka.

"Mama, dedek bayinya boleh kakak pegang?"

"Boleh dong, kakak deketan sini." Anin menepuk ranjangnya yang besar dan empuk. Rio naik dibantu oleh Bryan. Setelah mengucapkan terima kasih, Rio langsung meminta adik bayinya.

"Namanya siapa mbak?" tanya Gea.

"Nggak tau bapaknya." Anin menatap Bryan yang tersenyum. Mereka berdebat tentang nama bayinya waktu usia kehamilan Anin memasuki umur tujuh bulan. Bryan memaksa ingin memberi nama sendiri namun secara rahasia. Hingga akhirnya tiba hari ini dimana Bryan akan mengumumkan nama untuk anaknya.

"Eleanor Princessa Alaydrus."

____

Maaf kalo part-nya jelek, soalnya saya belum pernah hamil dan melahirkan 🙏

Ich Liebe Mama! ✓ [END]Where stories live. Discover now