27

86.9K 5.6K 31
                                    

Kehamilan Anin saat ini sudah memasuki usia sembilan bulan. Rio semakin antusias menunggu kelahiran baby E dan Bryan yang semakin sibuk agar bisa menemani sang istri di hari lahiran nanti.

"Iya, saya ke sana sekarang. Iya, tolong di handle dulu." Bryan mematikan ponselnya dan menaruh di saku celana bagian belakang.

Anin membantu memakaikan jas di tubuh Bryan, "Harus banget jam segini, mas? Jam sembilan loh ini besok juga Minggu."

"Iya, katanya ada kecelakaan di proyek."

"Aku ikut ya?"

"Mau ngapain? Kamu di rumah aja."

"Aku khawatir, mas."

"Nggak usah, tunggu aku dirumah aja ya, aku buru-buru ini."

"Maaass, pleasee."

"Nggak! Kamu diem di rumah! Temenin Rio! Dan jangan ngerengek terus! Aku pusing ini!"

"Mas?" mata Anin berkaca-kaca saat Bryan membentaknya. Entah Bryan sadar atau tidak, ia saat ini sedang kepusingan karena baru kali ini ada kecelakaan di proyek. Pikiran sudah berkelana kemana-mana.

"Aku pergi."

Bahkan kening Anin pun tak dicium tanda pamit. Bryan berlalu begitu saja dan hanya mencium pipi Rio yang kebetulan sedang menaiki tangga untuk pergi tidur.

"Jaga mama sama dedek." perintah Bryan yang diangguki Rio.

Sedang di kamar, Anin tengah menangis sambil mengelus perutnya yang membesar. Ia menguatkan hatinya. Ia terlalu emosional di kehamilan saat ini.

Rio masuk ke kamar Anin dan langsung melihat mamanya yang sedang menangis. Ia berlari menuju ranjang dan memegang tangan Anin yang mengepal di atas paha.

"Mama kenapa nangis?" tanya Rio dengan menatap polos Anin.

Anin segera menghapus air matanya dan mengusap pipi Rio. "Nggak papa sayang, mama cuman khawatir sama papa."

"Mama jangan nangis lagi ya nanti papa pasti pulang. Sekarang tidur yuk, baby pengen dinyanyiin sama mama."

Anin tersenyum lembut, "Iya, ayo."

_

Anin berkali-kali melihat ponselnya di atas ranjang. Barangkali ada telpon dari Bryan atau SMS saja ia sudah tenang. Pasalnya, dari tadi malam pria itu tidak mengabarkan keadaannya pada Anin.

Dan ini juga sudah hari kedua Bryan pergi untuk mengurus masalah di proyek. Tak ada tanda-tanda ponselnya berbunyi, Anin pergi ke bawah. Pelan-pelan ia menuruni tangga dengan satu tangan memegangi perutnya.

Ia menghampiri Rio yang sedang bermain dengan Brad. Bisnis Brad berjalan lancar. Ia sudah tidak bekerja lagi pada Bryan namun tetap mengunjungi rumah ini setiap Minggu dua kali. Bocah cilik yang tak lain Rio membuatnya tak bisa untuk tidak menemuinya.

"Halo uncle halo baby."

Brad tersenyum sedangkan Rio segera berdiri untuk membantu mamanya duduk di sofa. Ia kembali duduk lesehan bersama Brad dan Jerry.

"Mama baik-baik aja kan? Mama mau sesuatu?" tanya Rio menatap mamanya.

Anin menggeleng, "Nggak, sayang. Mama cuma bosen di kamar terus."

Mulut Rio membentuk bulatan kecil lalu lanjut bermain lagi. Anin merasakan tendangan keras dari perutnya membuatnya sedikit meringis.

"Ada apa?" tanya Brad yang menyadari ringisan Anin. "Nggak, cuman si centil lagi nendang aja." jawab Anin dengan sedikit tersenyum.

"Oh—em aku boleh bertanya?" Brad berbicara dengan hati-hati.

"Tanya aja Brad nggak usah pake nanya dulu," tawa Anin meluncur begitu saja. Brad menggaruk tengkuknya canggung.

"Em—bagaimana caranya supaya wanita mau di ajak menikah?"

"Tunggu, kamu mau menikahi siapa?"

Brad tersentak dan salah tingkah yang membuat Anin semakin mengerutkan keningnya. "Em—itu Gea."

"Oh, masih dengan Gea? Sudah lama aku nggak kabar-kabaran sama itu anak satu,"

"Iya, masih. Jadi bagaimana?" tanya Brad tak sabar.

"Menurutku, kamu ajak Gea candle light dinner karena dia suka dengan hal-hal yang berbau romantis."

"Begitu, ya? Kamu bisa merekomendasikan restoran mana yang bagus?"

Anin dengan senang hati memberi tahu dan mulai berbincang-bincang mengenai pernikahan dengan Brad melupakan sejenak permasalahannya dengan Bryan.

Hari sudah mulai sore, Brad juga sudah pulang. Rio yang sudah mandi kini tengah menonton film kartun di ruang keluarga. Anin yang selesai mandi pun mengoleskan lotion di bagian tubuhnya.

Pintu kamar terbuka menampilkan raut wajah Bryan yang lelah. Anin sontak bangkit dan menyambut kedatangan Bryan dengan senyuman terbaik. Untung saja ia sudah mandi dan wangi.

"Mas, baru pulang?" Anin meraih tas kerja Bryan dan ia taruh di atas meja riasnya. Ia membantu melepas jas dan dasi Bryan dengan senyum yang masih terpatri indah.

"Hmm," gumam Bryan lalu masuk ke dalam kamar mandi saat jas dan dasinya sudah terlepas.

Anin yang melihat itu pun hanya menghela nafas. Ia menyiapkan baju Bryan lalu turun untuk mengambil minuman hangat karena saat ini cuaca tengah hujan.

"Minum dulu tehnya, mas." Anin menyodorkan cangkir teh nya namun Bryan diam saja. Ia sibuk memakai celananya. "Taruh aja,"

Anin lagi-lagi menghela nafas dan menurut. Bryan merebahkan tubuhnya di ranjang yang diikuti Anin.

"Capek banget mas? Mau aku pijit?"

"Nggak usah."

"Nggak papa, sini."

"Aku bilang enggak ya enggak! Denger nggak sih?" sentak Bryan membuat Anin terkejut dan melepas pegangan tangannya di lengan Bryan.

"I—iya, aku—em keluar dulu sebentar." Anin dengan cepat berdiri dan berjalan keluar kamar.

Bryan mengacak rambutnya, "Shit! Goblok!" rutuknya sendiri. Karena hawa dingin dan lelah, akhirnya Bryan terjatuh tidur dan terlelap.

Prang!

Mamaaaaa!

Bryan tersentak bangun saat mendengar suara pecahan dan teriakan. Ia segera berlari keluar dan turun tangga. Di dapur ia melihat Anin tengah terduduk di lantai dengan pecahan beling di sampingnya yang membuat tangan Anin terluka.

"Sayang!" Bryan berlari mendekati Anin dan mulai mengangkat tubuh berat istrinya.

Anin menangis, "Mas, sa—kit hiks," tangan Anin memegang perutnya.

Bryan yang merasa tangannya lengket melihat ke bawah dan ada darah yang menetes di lantai. Ia panik. Ia berteriak memanggil pembantunya untuk membawakan barang-barang keperluan Anin dan calon anaknya.

Rio yang menangis mengekori Bryan dari belakang. Ia khawatir. Tadi, ia sedang bermain bersama Jerry lalu ia mendengar suara pecahan dari arah dapur dan sudah mendapati mamanya yang tergeletak tak berdaya di lantai.

___

Yuk, vote komen

Ich Liebe Mama! ✓ [END]Where stories live. Discover now