24

102K 6.1K 17
                                    

Vote+komen dulu guys!

___

"Mama, dedek bayinya udah boleh keluar?" pertanyaan polos dari Rio membuat gelak tawa Anin dan Bryan meledak. Polos sekali anak mereka ini. Matanya yang bulat menatap tanpa dosa ke arah perut Anin yang belum terlihat itu.

"Belum baby, nanti kalo udah sembilan bulan baru deh keluar." jawab Anin dengan lembut.

"Baby mau dipanggil apa? Abang, kakak, atau mas?" tanya Bryan dengan memangku Rio di atas pahanya. Saat ini mereka tengah berada di ranjang Anin dan Bryan. Anin ingin mereka melakukan perbincangan secara intim dengan suami dan anaknya. Seperti saat ini.

"Eumm, apa ya. Menurut mama, baby bagusnya dipanggil apa?"

"Kakak bagus kayaknya,"

Rio tersenyum lalu menatap ke arah Bryan, "Baby mau dipanggil kakak pa," katanya dengan bahagia memikirkan akan dipanggil 'kakak' oleh adiknya.

Bryan mengangguk, "Mulai sekarang belajar manggil diri baby kakak ya. Mama sama papa juga akan berubah manggilnya, baby mau?" tanya Bryan dengan mengusap rambut halus Rio.

Rio berpikir sejenak. Ia bergantian menatap Anin dan Bryan yang membuat kedua orang dewasa berbeda jenis itu bingung. Apa yang sedang dipikirkan oleh anak ini?

"Baby sih mau tapi...mama sama papa tetep sayang baby kan?" Rio menatap Anin dan Bryan dengan sedih. Ia takut jika tak kebagian kasih sayang jika adiknya sudah lahir.

"Baby sayang kakaknya dedek," Anin mengambil alih tubuh Rio dan menaruhnya di pangkuan. Tangan mungil Rio ia tarik untuk menyentuh perutnya yang sudah menonjol. "Sayangnya Mama sama papa gak bakal berubah kalo dedek sudah lahir. Jadi kakak gak boleh berpikir kalo mama sama papa gak sayang lagi sama kakak ya?"

Rio mengangguk, "Maafin kakak ya ma pa. Dedek, maafin kakak ya udah iri sama dedek." Rio menggerakkan tangannya dengan pelan di atas perut Anin.

"Iya kakak, dedek maafin kok." sahut Anin dengan menggunakan suara anak kecil.

"Sudah, sekarang waktunya tidur."

Bryan menaruh Rio di tengah-tengah kasur. Ia mematikan lampu dan berbaring dengan memeluk Rio sekaligus Anin. Beruntung tangannya memiliki ukuran yang panjang.

___

"Hueekk....huueeekk...ugh.." Anin memuntahkan isi perutnya ke wastafel. Lehernya diurut oleh Bryan padahal ia sudah menolak karena takut Bryan jijik dengan muntahannya.

"Mas hiks," Anin menangis di dada Bryan karena merasakan pusing yang luar biasa di kepalanya. Ia baru tidur beberapa jam namun harus terbangun karena rasa mual yang menderanya.

"Syuttt, kita ke kamar ya?" Anin mengangguk lalu berusaha berjalan dengan berpegangan di pinggang Bryan. Ia duduk di sofa yang bisa dibuat tidur karena ukurannya yang besar dan empuk.

"Ini, aku bantu olesin ya." Bryan menyingkap baju Anin sebatas bawah dada lalu mulai mengoleskan perut Anin dengan minyak kayu putih secara lembut.

Anin memejamkan matanya menikmati elusan tangan Bryan dan aroma minyak kayu putih yang menusuk ke hidungnya sehingga mengurangi rasa mualnya. Bryan menatap Anin dengan nanar. Ia kasihan dengan Anin tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.

"Dulu waktu hamil Rio kayak gini juga?" Anin mengangguk dengan wajah sayu. Bryan semakin didera rasa bersalah. Ia memeluk Anin dengan erat.

"Maaf...maaf...maaf," ia terisak dipelukan Anin yang kebingungan. Anin mengusap punggung bergetar Bryan dengan gerakan memutar.

"Mas kenapa nangis?" Anin ingin menangis saat ini juga karena melihat Bryan yang menangis.

"Maaf nggak nemenin kamu pas hamil Rio. Maaf udah ngebuat kamu ngerasain kayak gini di usia kamu yang masih muda. Maaf.."

Anin mengangguk lalu mengusap air matanya yang ikut menetes. "Nggak papa mas. Udah sekarang jangan nangis nanti Rio bangun." Anin melirik Rio yang masih tertidur pulas di ranjang. Ia melirik lagi ke arah jam dinding. Pukul empat lewat tiga puluh lima menit.

"Mas siap-siap subuhan ya?" Bryan melepas pelukannya lalu menghapus air matanya. Ia mengangguk dan mendekatkan wajahnya ke perut Anin.

"Dedek, papa subuhan dulu ya, jangan buat mama kesusahan lagi nanti papa sedih."

Cup!

Tutup Bryan dengan mengecup pelan perut Anin. Wanita hamil itu mengangkat kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan yang indah. Tangannya mengusap jambul Bryan yang masih terlihat badai.

"Aku siapin air panas dulu ya,"

"Nggak usah, aku aja, kamu duduk manis disini. Jangan banyak gerak." kata Bryan lalu mengecup pipi Anin.

"Aku siapin baju aja deh."

"Nggak boleh sayang."

"Mas please...."

"No."

"Mas..."

"Nggak sayang."

"Sayang,"

"Oke. Jangan capek-capek tapi."

"Siaappp!"

Anin bangkit lalu mengecup bibir Bryan dengan cepat namun ia kalah cepat dengan tangan Bryan. Bibirnya dilumat pelan oleh Bryan yang menimbulkan getaran aneh dalam perutnya. Ciuman berlangsung beberapa menit setelah Anin meminta lepas karena akan kehabisan nafas. Bryan mengecup kening Anin lalu melangkah memasuki kamar mandi dan Anin menyiapkan baju koko dan setelan jas untuk ke kantor.

____

Vote+komen guys!
Kayaknya konfliknya gak terlalu berat deh, gak tega juga:(

Ich Liebe Mama! ✓ [END]Where stories live. Discover now