19

111K 7.3K 153
                                    

___

Bryan dan kedua orang terkasihnya saat ini tengah berada di rumah sakit. Tadi pagi, Bryan mendapat telpon jika kondisi ibunya kembali drop. Padahal, kemarin ia terlihat sangat sehat untuk penyakit yang seperti itu.

"Mama, kok bisa drop sih?" Bryan menggenggam tangan Sinta, menyatukannya di depan wajahnya, sesekali ia mencium lembut tangan tersebut. "Mama udah tua, nak."

"Anin, sini!" suruh Sinta saat melihat Anin terdiam canggung di sofa. Sinta memaklumi sikap Anin. Wajar jika masih canggung, ia tergolong orang baru dalam kehidupannya.

"Iya Bu, ada apa?" Bryan menyilahkan Anin duduk di samping brankar ibunya. Ia menggendong Rio yang masih terkantuk-kantuk. Bryan melirik jam di tangannya, enam lewat dua puluh menit. Wajar Rio masih sangat mengantuk.

"Kalian kapan nikah? Mama udah nggak sanggup nahan lagi." Sinta berbicara dengan terengah-engah. Anin menatap Bryan, meminta pertolongan. "Secepatnya ma." jawab Bryan.

"Kapan? Waktu mama tinggal bentar lagi." ujar Sinta yang membuat Bryan dan Anin takut. Omongannya terlalu seram bagi keduanya. Bryan mengenyahkan pikiran buruk yang sempat lewat di otaknya.

"Tiga hari dari sekarang." putus Bryan. Anin melotot. Apa-apaan ini? Iya sih dirinya sudah dilamar tapi-- nggak secepat ini juga!

Sinta tersenyum lembut, "Anin, mama titip Bryan dan cucu mama ya. Nanti mama kasih tau papa kalo dia udah punya cucu ganteng dan mantu yang sangat cantik." ucapan Sinta mau tak mau membuat Anin tersenyum. Ia bersyukur wanita ini mau menerima dirinya.

"Ibu pasti sembuh! Jangan putus semangat!" Anin melontarkan perkataan itu dengan suara yang bergetar. Ia sedih melihat wanita paruh baya ini terbaring lemas di brankar rumah sakit.

"Panggil mama aja. Hmm mama udah kangen sama papa, udah ditungguin juga." Anin meneteskan air matanya. Ia memeluk tubuh Sinta dengan pelan, tak ingin menyakiti.

Bryan memeluk Rio yang tertidur di pundaknya. Ia ikut meneteskan air mata namun ia hapus dengan cepat. Ia ingin menikah dengan Anin namun tak begini caranya. Meskipun penghulu sudah ketemu tapi tetap saja ia ingin menikah dengan layak, tak tergesa-gesa seperti ini.

"Anin akan jaga apa yang mama titipin ke Anin." ujar Anin melepas pelukannya. Sinta mengangguk seraya tersenyum lembut. Ia mengelus surai Anin yang terasa halus. "Kalo Bryan nakal, pukul aja." Sinta terkekeh pelan. Anggun sekali pikir Anin.

"Hehe, iya." Anin mengusap kepalanya. "Ya udah kalian pulang gih, bentar lagi kan nikah. Nanti mama minta ijin sama dokter biar bisa pulang dan nyaksiin kalian menikah."

"No! Kita akan menikah di sini." putus Bryan tanpa bisa diganggu gugat. Ia khawatir dengan kondisi ibunya. Jika nanti ada apa-apa dengan ibunya -amit-amit- ia tak bisa bergerak cepat jika berada di mansion.

___

Sah!

Resmi sudah Anin dan Bryan menikah. Meskipun masih siri karena belum bisa pulang ke Indonesia tapi keduanya sangat bahagia. Rio yang tak mengerti hanya diam di pangkuan Brad. Ia ikut tersenyum saat melihat mama dan papanya bahagia.

"Mereka ngapain uncle?" tanya Rio pada Brad. "Nanti kalo kamu udah dewasa pasti tahu." sahut Brad dengan mengusap pelan rambut anak bosnya. Rio mengangguk lalu mengangkat bahunya acuh.

Suasana kembali mencekam saat mendengar monitor detak jantung Sinta bergerak dengan cepat. Sinta terlihat sesak nafas. Bryan menghampiri ibunya dengan air mata yang berlinang.

"Mama," isak Bryan terdengar memilukan. Anin mengusap bahu suaminya dengan pelan. Air matanya ikut menetes merasakan kesedihan juga.

"Ma-mama hah ba-ha-gia hah kahhmu jugah hahrus bahagiah." Sinta merasakan seperti ada yang akan tercabut dari dadanya. Ia menahan kesakitan.

"Mama ikutin Bryan. Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasulullah. MAMAAAAA!!" Bryan berteriak histeris setelah mamanya berhasil mengikutinya dan menutup mata untuk selamanya.

Bryan mengguncang tubuh Sinta agar wanita itu segera bangun. Namun yang didapatnya hanyalah senyuman tipis yang terlihat di wajah wanita yang sangat dicintainya itu. Anin memeluk Bryan dari samping untuk menenangkannya.

Semua orang yang ada di sana melihatnya dengan tatapan iba. Meridam sudah menangis di pundak suaminya yang datang menyaksikan pernikahan keponakannya. Rio mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia sempat kaget tadi saat papanya berteriak.

Rio melihat Omanya yang sudah terbujur kaku dengan mata yang tertutup. "Uncle, Oma kenapa? Papa sama Mama kenapa nangis?" Brad menggelengkan kepalanya pelan. Ia tak sanggup menjawab pertanyaan polos anak ini.

Dokter melepas alat medis dari tubuh Sinta. Ustadz yang tadi membantu ijab qobul antara Bryan dan Anin ikut membantu memandikan jenazahnya.

Bryan mengantar tempat istirahat terakhir mamanya dengan mata yang berlinang. Ia mewujudkan mimpi mamanya untuk dikubur di sebelah papanya yang sudah lebih dulu meninggalkannya. Anin mengusap pundak Bryan.

Bryan memeluk Anin saat mereka sampai di mansion. Bahunya bergetar saat mengingat momen-momen bersama mendiang ibunya. Ia merasa belum cukup membahagiakan Sinta tapi Tuhan berkata lain.

"Mas yang kuat. Masih ada aku sama Rio di sini." ucap Anin seraya mengusap punggung bergetar Bryan. "Jangan tinggalin aku." lirih Bryan.

Anin mengangguk, "Nggak akan." ucapnya dengan penuh keyakinan. Bryan sudah merasa sedikit tenang. Ia ingin beristirahat sebentar. Anin membantu Bryan menuju ranjang setelahnya ia keluar dan mencari Rio.

"Baby?" panggil Anin. Ia berjalan menuju ruang tengah. Di sana terlihat Meridam, suaminya dan para sepupu-sepupu Bryan tak lupa Rio yang berada di pangkuan Brad.

"Hi." sapa Anin dengan canggung. Semuanya mengangguk lalu tersenyum ramah. "Mamaa," Rio merentangkan kedua tangannya. Anin menghampiri lalu menggendongnya dengan kesusahan. Berat badan Rio menambah drastis saat berada di ini.

"Duduk lah Anin." ucap Meridam menggunakan bahasa Indonesia yang masih belum terlalu jelas. "I-iya tante." Anin duduk di sebelah Meridam.

Di sana ada anak-anak Meridam. Ada Jessica, Troy, dan si bungsu Isabelle. Anin duduk dengan canggung.

"Bagaimana keadaan Bryan?" tanya Meridam memulai pembicaraan. "Terlihat lebih baik sekarang tante." Meridam mengangguk.

"Apakah kamu akan kembali ke Indonesia?" Anin terdiam. Ia bingung. Ia ingin kembali namun situasinya tak mendukung. "Nanti tante saat semuanya kembali membaik."

"Saya titip Bryan ke kamu ya. Tolong jaga dia." Bryan saat ini terlihat seperti anak kecil bukan lagi pria dewasa yang mampu menghasilkan produk unggul.

"Iya tante. Saya permisi untuk melihat keadaan Bryan dulu. Permisi semuanya." Anin tak perduli apa mereka mengerti ucapannya hanya saja ia ingin cepat ke kamar.

____

Alur dipercepat. Maaf kalo ada yang nggak nyaman.

Ich Liebe Mama! ✓ [END]Where stories live. Discover now