YOU AND ME - Lifehouse

273 48 4
                                    

What day is itAnd in what month?
This clock never seemed so alive
I can't keep up, and I can't back down
I've been loosing so much time

'Cause it's you and me
And all of the people
with nothing to do, nothing to lose
And it's you and me
And all the people
And I don't know why
I can't keep my eyes off of you

***


"Aduduh, Mbok, sakit," erangku sembari menggeliat di bawah jempol Mbok Ratih yang menekan bagian belakang tubuh, dekat dengan tulang punggung.

Mungkin usia yang dulu lebih muda, atau rasa marah dan keinginan kuat untuk pergi dari rumah, membuatku tidak merasakan lelahnya perjalanan delapan jam dengan kereta. Namun, beda dulu, beda sekarang.

Saat bangun pagi ini, rasa sakit yang mendera di bagian belakang tubuh, dari bahu hingga pinggul, membuat aku terpaksa mengadu pada si Mbok. Tidak perlu lama, dipanggilnya Kinarsih datang. Berdua, mereka mengurut otot-otot sekujur tubuhku.

"Ditahan dikit, jangan cengeng. Wes gedhe, malah ora tahan sakit." Bukannya melembutkan tusukan jari, si Mbok malah memperdalam. Tidak hanya menekan, dia juga memutar-mutar ibu jarinya yang kasar, hingga rasa sakit itu seakan tembus sampai ke hati.

Aku mengerang lebih keras, menggeliat, mendesis, mengetatkan rahang dan gigi, kulakukan apapun untuk meredam teriakan dan air mata yang mengancam turun. Tubuhku menggigil menahan nyeri, peluh dingin mulai keluar sebiji-biji jagung.

"Dulu, awakmu biasa wae kalau Mbok urut, sekarang kok manja," ujar perempuan tua itu tanpa rasa prihatin terhadap kondisiku. "Kalau ada masalah, kudu cepat dirampungken. Kalau enggak, yo, iso tambah parah."

Ingin aku tertawa, tapi rasa sakit yang berdenyut membuat tenggorokanku tercekat. Nasihat Mbok Ratih barusan lebih terdengar seperti solusi untuk problema hidupku ketimbang urat yang salah tempat. Tidak tahu sudah berapa lama, akhirnya jempol kasar itu berhenti mengulek dagingku.

Sambil mengaitkan tali bra dan menepuk lembut punggungku, si Mbok bertanya, "Piye rasane?"

Aku ingin menjawab, 'rasanya lega', tapi tidak kulakukan, mengingat jawabanku mungkin akan memberi contoh buruk pada generasi muda yang menatap dari ujung ranjang. Alih-alih melakukan itu, aku membalikkan tubuh perlahan untuk duduk.

Kugerakkan leherku ke kiri-kanan, lalu memutar bahu. "Enakan sih, Mbok." Aku menyeringai menatap si Mbok, lalu beralih pada Kinarsih. "Terima kasih, ya, Kinar, Mbak jadi ngerpotin kamu juga."

Gadis itu tampak malu-malu sebelum senyumnya merekah indah, memamerkan deretan gigi yang terawat baik. Dia mengangguk dan berkata, "Inggeh, Mbak, ndak masalah. Kalau sudah selesai, kulo pamit pulang, yo, ada tugas kelompok di rumah teman."

"Oh, ya, ampun! Duh, ma—" Aku terkesiap.

"Lho, kenapa ora ngomong?" hardik si Mbok menimpali kalimatku. Tanpa basa-basi, sosok berumur itu berdiri, lalu menarik tangan Kinarsih dan menggiringnya keluar. Pintu kayu di depanku terbanting tutup sebelum aku sempat meminta maaf.

Tidak berapa lama, si Mbok kembali melenggang masuk dengan segelas jamu di tangan. "Iki, ayo diminum, biar awakmu sehat meneh," ujar si Mbok sambil mendudukkan diri di sampingku.

Kuterima gelas yang disodorkan si Mbok. Hangat. Aroma kunyit asam menguar saat aku membuka tutupnya. Sudah lama sekali, aku tidak mencicipi minuman tradisional ini. Namun, sebelum menghabiskannya, aku teringat hal penting yang ingin kusampaikan.

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now