SOMEWHERE OVER THE RAINBOW

154 34 22
                                    

Somewhere over the rainbow bluebirds fly
Birds fly over the rainbow
Why then, oh, why can't I?

There's a land that I heard of
Once in a lullaby.

******

Cinta? Tidak mungkin ....

Meskipun begitu, kata itu membuatku tidak tidur dan semalaman menatap langit-langit yang mencetak motif anyaman bambu. Setiap kali aku berusaha menutup mata, wajah muram Baskara dan sinar matanya yang putus asa selalu muncul dan menyiksa batin.

Aku tahu jelas, aku bukan orang yang mudah dicintai. Pernyataan Baskara kemarin terdengar seperti sebuah kebohongan sekaligus pujian yang membuatku bertanya-tanya apakah dia melakukannya hanya agar aku mengurungkan niat untuk pulang? Rasanya tidak mungkin. 

Apa yang dia maksud dengan cinta? Apakah memiliki teman untuk berbagi? Meskipun lebih banyak dia yang berbagi cerita padaku ketimbang sebaliknya. Apakah memiliki seseorang yang selalu ada kapan pun dibutuhkan? Meskipun kebanyakan aku yang melarikan diri ke kafenya.

Lagipula, dari awal Baskara tahu kalau aku akan pulang, kalau keberadaanku di sini hanya sementara. Lalu, mengapa dia menaruh hatinya padaku? 

Malam kemarin, aku dan dia hanya duduk dalam temaram cahaya teras. Kami tidak saling menatap dan tidak mampu berkata-kata. Genggaman tangannya terasa hangat di tengah cuaca musim penghujan. Dia baru berpamitan ketika suara binatang malam mulai ramai dan langit terlalu cerah oleh bintang.

Aku tidak berani bertanya dan hanya bisa melihatnya pergi. Ketika lelaki itu benar-benar hilang dari hadapanku, aku merasa hampa seperti pelaut yang terapung-apung di samudera.

Meninggalkan Gunung Gambar seharusnya begitu mudah, tidak ada apa pun di sini yang kucintai, tapi mengapa pikiran itu membawa beberapa air mata jatuh tanpa sebab. Kubersit hidung dan memejamkan mata, berusaha untuk tidur meskipun hari sudah hampir siang. 

 "Li ...," panggil si Mbok setengah berbisik disusul ketukan halus pada pintu. "Ada tamu."

Mendengar itu, mataku kembali terbuka, seingatku tidak ada janji dengan siapa pun hari ini. Meskipun malas untuk bertemu orang, tapi rasanya itu lebih baik ketimbang memejamkan mata dan memutar seribu satu pertanyaan mengenai perasaan Baskara.

"Tamu?" tanyaku setelah membuka pintu.

Si Mbok mengangguk. "Iya, bapak-bapak tua pakai batik. Kalau dari penampilan sepertinya orang suruhan."

Kutarik napas panjang sebelum mengukur langkah ke depan. Lelaki yang dimaksud si Mbok berdiri tegak di bawah tangga teras seolah dia arca penjaga rumah. Batik hitam putih yang dikenakannya tidak tampak murahan dan memiliki motif yang tidak umum.

Derit lantai kayu di teras membuat orang itu berbalik dan tersenyum ramah, rupanya supir Om Andreas yang kemarin mengantarku pulang. "Selamat pagi, Mbak Lia. Saya diminta Pak Andreas jemput Mbak Lia ke hotel untuk makan siang. Katanya Pak Andreas, dia minta maaf karena enggak kasih tahu dulu sebelumnya."

Aku mengangguk memaklumi karena kami tidak bertukar nomor telepon. Kukatakan padanya, "Kalau begitu tunggu sebentar, Pak." Supir keluarga Djatmiko itu membungkukkan mengangguk sopan lalu kembali pada posisinya semula.

Selesai mandi, kukenakan gaun berpotongan A warna salem sebatas lutut. Rasanya, gaun Ibu ini cocok dikenakan untuk acara makan siang yang santai. Satu-satunya masalah adalah mataku masih sedikit merah dan bengkak karena kurang tidur. 

Sambil bercermin, kupoles bagian tersebut beberapa kali untuk menghilangkan kesan itu. Memang tidak benar-benar berhasil tetapi hasilnya lumayan. Hanya saja, aku tidak bisa menghilangkan tatapan mataku yang sama muramnya dengan milik Baskara. 

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now