FIX YOU - Sam Smith

220 37 2
                                    

When the tears come streaming down your face
When you lose something you can't replace
When you love someone, but it goes to waste
Could it be worse?

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you


*****


Entah berapa kali aku meremas dan meluruskan ujung kaus yang lecek karena tanpa sadar kupuntir. Perut rasanya teraduk-aduk memikirkan hari ini akan bertemu orang tua Baskara. Jam tangan masih menunjukkan pukul delapan, masih setengah jam lagi sebelum lelaki itu menjemput, tapi satu menit terasa selamanya.

Separuh diriku gugup dengan skenario yang akan dimainkan, bertemu orang tua Baskara dan mengaku sebagai kekasihnya. Mengingat masa lalu, dulu rasanya tidak sepanik ini saat aku dihadapkan dengan orang tua John.

Separuh lainnya, merasa ini bukan hal yang benar. Seperti yang pernah dikatakan Baskara, jika diberi pilihan benar dan salah, pilihlah kebenaran. Memberikan harapan palsu pada orang tuanya jelas adalah tindakan yang salah.

Setelah menimbang masak-masak, akhirnya kuputuskan kunjungan ke rumah Baskara harus dibatalkan. Segera kusambar sepatu teplek di rak dan bergegas menuju pagar.

"Aku pergi dulu, Mbok!" teriakku pada Mbok Ratih yang tidak terlihat sosoknya. Meskipun begitu, restunya dari pekarangan samping, tempat menjemur pakaian, masih tertangkap pendengaran.

Belum lagi sampai ke mulut gang, sebuah Vespa biru terlihat mendekat. Klakson yang ditekan Baskara berkali-kali, memacu langkahku lebih cepat.

"Iseng banget kamu itu," tegurku, ketika motornya berhenti tepat di hadapan.

"Takut kamu enggak ngenalin." Lelaki itu menyeringai lebar sambil membuka kaca helmnya. "Cepat amat keluar rumahnya? Aku pikir mau mampir sebentar, paling enggak pamit sama si Mbok."

"Enggak usah," cegahku. "Bas, acara hari ini—"

"Sek sek, aku putar motor dulu." Karena ukuran yang kecil, Vespa itu tidak kesulitan untuk berbalik arah. "Yuk, naik!"

Aku menggeleng. "Bas, aku justru mau ke kafe untuk batalin janji kita."

"Hah?" Lelaki itu menganga. "Aku pikir kamu mau jalan pagian karena pengen mampir ke kota."

"Sama sekali enggak. Aku sudah mikir panjang lebar, yang mau kita lakukan ini salah, Bas. Ini enggak baik buat keluarga kamu, terutama buat kamu. Soalnya—"

"Boleh naik dulu enggak, Em?" potong Baskara, senyum itu hilang berganti ekspresi datar menghias wajahnya. "Kita cari tempat buat bicara, ngobrolin di tempat umum gini malah bikin rumor."

Astaga! Buru-buru aku membungkam mulut dengan kedua tangan. Saking panik, aku tidak sadar sudah membeberkan hal yang harusnya rahasia. Untung saja kondisi sekitar di Minggu pagi seperti ini lengang, jika tidak entah sudah berapa pasang mata yang mengintip di balik semak dan pepohonan.

Aku mengangguk, lalu dengan satu loncatan kududukkan diri di jok belakang. Tanpa basa-basi, dia menarik gas dan kami melesat ke bawah dan terus turun menuju ke kota.

Bokongku hampir mati rasa, jika Baskara tidak berhenti dan memarkirkan motor di Point Café Piyungan. Katanya, tempat ini sudah jadi pemberhentiannya setiap kali turun gunung untuk pulang.

Setelah membayar dua gelas Americano di counter, Baskara mengajakku menempati kursi di teras mini market. Mengabaikan seliweran kendaraan dan bising angkutan kota, aku mengemukakan alasan yang paling masuk akal mengapa rencana ini harus dibatalkan.

KOMPILASI LAGU SEMUSIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang