STAY WITH ME - Sam Smith

151 36 4
                                    

Why am I so emotional?
No, it's not a good look, gain some self-control
And deep down I know this never works
But you can lay with me so it doesn't hurt

Oh, won't you stay with me?
'Cause you're all I need
This ain't love, it's clear to see
But, darling, stay with me


*****


Mbok menepuk pinggulku yang mana langsung membuyarkan lamunan mengenai kalimat Baskara kemarin saat mengantarku pulang. 

"Nah, wes rampung. Semoga enggak ada masalah lagi sama peranakan kamu. Semoga, pulang langsung dapat momongan," ujar Mbok Ratih lalu tersenyum.

Aku membalas senyumnya tanpa mengatakan apa pun. Setengah diriku tidak percaya akan ramuan jamu dan ilmu urut yang dipraktekkan Mbok Ratih, ilmu urut yang diturunkan nenek moyangnya dari generasi ke generasi, katanya.

Maksudku, jika rumah sakit yang canggih saja tidak bisa membantuku memiliki bayi, bagaimana mungkin resep tradisional lebih manjur? 

Dan rasanya, belum pernah ditemukan sebuah kitab kuno—seperti kitab Kamasutra—yang berisi cara mengurut yang efektif atau resep ramuan tradisional komplit, lalu bagaimana mungkin Mbok Ratih tahu begitu banyak?

Kutarik napas panjang lalu membuangnya perlahan, mengusir keheranan barusan.

Setengah lagi dari diriku tidak ingin lagi memberi harapan semu yang hanya akan membuat luka baru.

"Li, Mbok perhatikan ... kamu sama Mas Baskara dekat banget," kata si Mbok saat aku sedang mengenakan pakaian, "Bukan Mbok ngelarang, tapi ini kota kecil. Kesalahan sedikit saja bisa jadi omongan sampai anak cucu."

Aku mengernyit. Dengan rasa tidak percaya, kutatap mata kelabu si Mbok dalam-dalam. Entah apakah dia lupa atau hanya ingin mengingatkanku lagi, tapi topik ini sudah pernah kami bahas sebelumnya.

"Aku ngerti, Mbok. Sekali lagi, enggak ada apa-apa antara aku dan Baskara." Aku mengurut pangkal hidungku untuk meredakan kekesalan. "Lagi pula, aku enggak bisa punya anak. Apalagi cucu."

"Hush!" Si Mbok menghardik. "Kamu enggak tahu apa rencana Tuhan."

"Ya, aku tidak tahu, Mbok, yang pasti—" Aku mengetatkan rahang.

Ingin aku melanjutkan: apa pun rencana Tuhan, yang jelas Dia sedang memberiku hukuman seumur hidup. Aku memperhatikan polanya, di balik setiap keinginanku yang terkabul, Dia juga menurunkan petaka.

Namun percuma berdebat, aku mendengkus, orang yang hidup dalam kedamaian seperti Mbok Ratih tidak akan mengerti apa yang sudah kulalui. 

"Sudahlah, Mbok, aku sudah besar. Aku tahu batasnya." Tanpa menunggu respon, aku segera bangkit dari ranjang, meraih notes book, dan bergegas ke luar rumah.

Dalam kondisi normal, Mbok Ratih pasti menyusul dan melarangku pergi setelah diurut, tapi kali ini tidak. Aku tahu, maksud Mbok baik, tapi aku tidak tahan dengan orang-orang yang memberi batas pada ruang gerakku seolah aku anak kecil yang masih duduk di bangku SD.

Langkahku berhenti di seberang Kopi Bujang. Di sini, hanya rumah Eyang dan bangunan kuning itu tempatku menghabiskan waktu. Namun, kalimat si Mbok yang kembali terngiang membuatku enggan menyeberang.

"Oi, Em! Mau berdiri sampai kapan di sana?" sapa Baskara dari seberang, bahu lelaki itu dengan santai menyandar ke kusen di mulut kafe, sementara kakinya disilangkan. 

Itu, dan senyum yang mengembang menyaingi cuaca cerah siang ini, membuat tampilan lelaki itu seolah objek dalam lukisan realisme.

"Ayo, nyebrang!" Baskara mengedikkan kepalanya ke arah kafe. Bersamaan dengan itu, keraguan yang sempat ada pupus seketika.

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now