I BELIEVE IN YOU - Michael Buble

197 37 0
                                    

I believe in starting over
I can see that your heart is true
I believe in good things coming back to you
You're the light that lifts me higher
So bright, you guide me through
I believe in you

And I don't mind
If you want to hold onto me tight
You don't have to sleep alone tonight
If you don't want to


*****


Memasuki awal September, cuaca kurang bersahabat. Ini salah satu sebab, kuputuskan untuk tidak keluar rumah. Seminggu ini, hujan turun hampir tiap pagi—kadang gerimis, kadang agak deras.

Jika tidak hujan, maka cuaca sangat mendung dan dingin. Jam lima pagi langit benar-benar masih gelap, seolah matahari sedang tidak Bahagia. Sama, seperti aku.

Pikiranku sibuk dengan John. Minggu ini adalah minggu terakhirnya di Perancis. Kemarin, dia mengirimkan beberapa foto bersama atasannya dan seorang perempuan cantik. Katanya, perempuan berambut cokelat itu adalah penerjemah yang disewa selama mereka di Perancis.

Terus terang, aku cemburu. Jika sudah satu bulan mereka bersama, mengapa John baru memperlihatkan fotonya padaku?

Kejanggalan ini membuat pikiranku memberontak. Selama beberapa hari, aku bergumul dengan rasa marah sebelum akhirnya menerima alasan, mungkin itu hanya prasangka burukku saja.

Derung motor yang terdengar menarik perhatianku ke jendela. Sebuah sepeda motor bebek melintas di sore yang mendung. Kuembuskan napas panjang, saat sebuah nama melintas dalam pikiran.

Baskara ....

Setelah kunjungan ke Galeri Batik Djatmiko minggu lalu, tidak ada tanda-tanda lelaki itu mencariku. Itu bagus. Aku juga berusaha untuk tidak mampir ataupun sekadar memikirkannya. Meskipun harus diakui, aku merindukan seduhan kopi dan keramahannya.

Kuusir segera senyum semringah Baskara saat pertama kali bertemu, yang melintas dalam pikiran, dan menggantinya dengan nasihat Mbok Ratih. Kata si Mbok, perempuan yang sudah menikah, tidak baik bergaul dengan lawan jenis, baik yang sudah ataupun belum menikah.

"Lagi opo, Cah Ayu?" Suara si Mbok menarik perhatianku dari gemuruh dan kilat yang mulai mendera langit. Sebelum dapat merespon, tubuh rentanya sudah mendekat dan duduk di sebelahku, di pinggir ranjang.

"Mbok perhatiken, seminggu iki awakmu mrenggut terus. Wes ora olah raga lagi. Ono opo, toh?"

Senang dengan perhatian yang diberikan si Mbok, senyumku otomatis mengembang. "Enggak pa-pa, Mbok. Cuaca lagi enggak bagus saja, makanya enggak lari pagi. Sekarang, aku enggak tahan air hujan. Kehujanan sedikit, langsung demam. Mbok benar, aku makin manja selama tinggal di Jakarta."

Dengan sayang, telapak kasar si Mbok mengamit dan mengelus tanganku sambil bercerita, "Pas bayi, awakmu memang langganan sakit. Saben malem, nangiiis terus kalo wes demam. Syukur, makin gedhe, makin sehat. Mumpung neng kene, jamu sing Mbok bikin diombe, yo. Ojo dibuang lewat jendela."

Aku mengerjap dan berpikir, jangan-jangan Mbok Ratih melihat noda di luar jendela. Dia salah jika berpikir itu adalah jamu. Itu adalah noda kopi tubruk yang diseduh Mbok Ratih tiap pagi. Karena rasanya tidak enak, beberapa kali aku membuangnya keluar jendela. Semoga si Mbok tidak tersinggung ketika tahu kelakuanku.

"Ish, si Mbok, mana berani? Bisa-bisa, Eyang Mala bangkit dari kubur, bawa-bawa sapu lidi ngejar aku, kayak dulu."

Si Mbok terkekeh. "Eyang Mala memang seneng guyon, tapi ngeplak awakmu sekali wae ora pernah."

KOMPILASI LAGU SEMUSIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang