SHALLOW - Bradley Cooper

481 71 1
                                    

Tell me somethin', girl
Are you happy in this modern world?
Or do you need more?
Is there somethin' else you're searchin' for?

I'm falling
In all the good times I find myself
Longin' for change
And in the bad times I fear myself


***


"Astaga, Bu, ada apa? Ibu ndak pa-pa? Ada yang luka?"

Aku terus menangis, tidak menghiraukan berondong pertanyaan Bi Ijah yang panik. Tangan tua yang baru saja menyentuh kutepis kasar. "Tinggalin aku sendiri!"

Aku tahu, tidak seharusnya kulakukan perbuatan kasar itu, terutama terhadap Bi Ijah yang sudah seperti keluarga sendiri. Tidak, Bi Ijah bahkan lebih dari keluarga, karena dia selalu ada menemaniku di saat-saat sulit. Tangisku menjadi lebih kencang. Kata maaf yang seharusnya ku-ucap terbungkam rasa sesal dan marah yang tak berarah.

Wanita itu tidak pernah bicara banyak, tapi aku bisa merasakan kasih sayangnya. Seperti saat ini, bukannya pergi, sentuhan hangat Bi Ijah kembali melekat. Jemarinya membungkus pergelangan tanganku dengan lembut sembari berkata, "Iya, bibi pergi, tapi nanti. Sekarang, pindah tempat dulu, ya. Jangan di sini, bahaya, bisa kena beling. Ayo, Bu."

Nada peduli dalam suara Bi Ijah memaksaku membuka mata yang mulai bengkak dan berat. Sesegukan menyumbat tenggorokan. Aku menoleh ke arah di mana serpihan tajam itu berserakan, tanda ketidakbecusanku sebagai istri. Apakah karena itu, Tuhan mengutuk aku tidak memiliki anak?

Lembut dan penuh pengertian, lengkung sabit di bibir Bi Ijah menyambut saat pandanganku kembali menatapnya. Aku mengangguk lemah, mengiyakan ajakannya. Sifat keibuan yang kurasakan pada Bi Ijah membuat air mataku meleleh. Dibantunya aku bangkit, kemudian mendudukkanku di kursi pada meja makan sebelum berlalu.

Di latar belakang, suara peralatan makan beradu. Kutarik lembar tisu di atas meja dan menggunakannya untuk menghapus air mata dan membersit hidung. Aku masih berusaha meredakan isakan yang menyumbat tenggorokan saat suara Bi Ijah kembali memecah hening.

"Diminum, ya, Bu, biar ada tenaga. Ibu pucat banget," ujarnya sambil meletakkan sepoci teh dan sebuah cangkir berisi gula batu di hadapanku.

"Terima kasih." Asisten rumah tangga, yang mulai bekerja dari awal kepindahan kami kemari, tidak mengatakan apapun. Dia tersenyum dan mengangguk. "Bi," panggilku tepat saat dia akan melangkah pergi.

"Ya, Bu?" tanya Bi Ijah sambil menatapku dengan kening berkerut.

Aku mengamit tangannya yang bertumpu di atas meja. Tidak perlu menyembunyikan air mata dari Bi Ijah karena mungkin dia sudah terbiasa melihatnya. "Maafin aku, Bi. Sudah kasar sama Bibi."

Perubahan di wajah tua itu mengharubirukan hatiku, kedua netranya turut berkaca-kaca. Bi Ijah menghapus air matanya dengan punggung tangan. "Duh, Bu, buat apa minta maaf. Ibu udah kayak anakku sendiri. Sudah, jangan nangis lagi, nanti sakit."

Aku mengangguk. Sesuai janji, Bi Ijah tidak bertanya apapun mengenai sebab aku berteriak histeris dan berlaku kasar. Dia hanya menepuk tanganku, kemudian beringsut pergi. Sebentar kemudian, kudengar suara pecahan keramik yang dibersihkan.

Tanganku gemetar waktu menuang teh dari poci ke dalam cangkir keramik. Uap beraroma melati mengisi udara sekeliling, mengingatkanku pada sebuah tempat yang lama kutinggalkan. Panas pada permukaan keramik, merambat perlahan di ujung-ujung syaraf jemari yang membungkusnya, mengembalikan kewarasanku yang sempat hilang.

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now