MODERN LONELINESS - Lauv

333 53 7
                                    

And I've been trying to find a reason to get up
Been trying to find a reason for this stuff
In my bedroom and my closet
The baggage in my heart is still so dark
Modern loneliness, we're never alone
But always depressed, yeah

***


Turun dari taksi, dari jalanan utama beraspal, rumah Eyang harus masuk ke gang. Jalannya tidak sempit, tapi susunan paving blok yang tidak rata sedikit menyulitkanku menarik koper.

Belum jauh dari mulut gang, langkahku berhenti saat teriakan dari kejauhan memenuhi atmosfer sore hari. Tak lama sosok-sosok kecil dalam kaos oblong tipis muncul dari belokan di ujung gang. Segera saja, aku menyingkir ke tepi jalan untuk memuluskan kecepatan lari mereka.

Layang-layang berwarna cerah dan beraneka bentuk berada dalam dekapan tangan-tangan mungil. Buntut layangan yang panjang, seperti pelangi, melayang mengikuti kecepatan lari kaki-kaki pendek bersendal jepit sekadarnya.

Agak jauh di belakang, tampak tertinggal, seorang anak perempuan kecil berusaha memperpendek jarak dengan anak-anak lain yang lebih besar. Namun, bukannya mempercepat langkah, anak perempuan itu justru berhenti persis di depanku.

Aku menyeringai, menatap penasaran pada wajah cemong dengan polesan bedak yang tersenyum padaku. Rambut panjang sebahu yang terlihat basah, menandakan dia baru saja mandi. Tiba-tiba, anak perempuan itu mengangkat boneka usangnya ke udara, ke arahku, seperti Rafiki yang mengangkat Simba dalam film The Lion King. Melihat itu, aku tidak bisa menahan tawa.

Belum lagi sempat merespon, seorang anak lelaki--yang sepertinya adalah sang kakak--sudah berada di samping adik perempuannya. Kuperhatikan bahu kurus anak itu yang timpang, karena menjinjing kantong kresek setengah penuh berisi kelereng. Dia mengangguk sopan padaku, sebelum menarik pergi tangan mungil adiknya. Berdua, mereka menyongsong cahaya sore. Kutatap kepergian mereka dengan perasaan rindu.

Aku dan Mas Wijaya adalah gambaran persis kakak beradik yang barusan pergi. Mereka pasti hendak naik ke lapangan terbuka yang letaknya sekitar dua puluh meter ke atas. Di pertengahan tahun seperti ini, Mas Wijaya suka sekali bermain layangan dan aku yang selalu membantunya memegang tulang layangan dari jauh. Rasanya bangga, jika layangan itu berhasil mengudara. Senyum menghias di bibirku saat meneruskan perjalanan sambil mengingat masa kecil. 

Bentuk rumah joglo yang mulai mewujud membuatku mempercepat langkah, lalu berhenti tepat di seberangnya. Rumah sederhana peninggalan Eyang Nirmala tampak tidak berubah, masih terlihat seramah dulu.

Di pekarangan yang luas, pepohonan rimbun menawarkan keteduhan dari sinar mentari sore yang menyengat. Rumput-rumput hias dan tanaman obat yang ditanam Eyang juga masih ada, bahkan sepertinya lebih banyak jenisnya sekarang. Hanya satu yang kurang dari rumah itu... Eyang Mala.

Kuseka air mata dengan punggung tangan. Meskipun begitu, mataku tetap berair, dadaku sesak dengan rindu, berharap Eyang masih hidup dan menungguku di muka pintu dengan kedua tangan terbuka lebar.

Pantaslah jika aku merindukannya, karena Eyang yang mengasuhku dan Mas Wijaya ketika kecil. Ketika Ibu sibuk mengejar titel dokter spesialis bedah kosmetik di Jepang yang--entah kenapa--sempat tertunda.

Eyang Nirmala dan Ibu, bagai langit dan bumi. Beliau adalah sosok yang sabar dan penyayang. Tidak sekali pun aku melihatnya marah. Kalau menangis, sering. Kadang kala, aku mendapati perempuan renta itu duduk termenung dalam keremangan ruang makan. Meskipun lembar sapu tangan dalam genggamannya tampak basah, beliau tidak pernah mengaku sedih dan aku tidak pernah tahu apa sebabnya.

KOMPILASI LAGU SEMUSIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang