BITTER LOVE - Ardhito Pramono

267 47 2
                                    

There is bitter in everyday
But then I feel it
That you would be the only one
Sometimes it doesn't have to be so sure
The sweetest love can be so hard to find

We'll be better in every way
But then I would go to be in other space
Sometimes, the bitter of love can be so good
It's like a coffee with a rainbow's mood

*****

Jika dari luar saja kafe itu sudah begitu menarik, berada di dalamnya membuat imajinasiku nyala. Aku suka apa yang tersuguh sekeliling mata memandang. Kontras dengan warna kuning pada eksteriornya, interiornya didominasi warna cokelat walnut yang hangat, pada lantai papan yang kokoh dan meja counter. Sementara, dindingnya diberi warna cerah untuk memberi kesan luas.

Meja-meja bulat dengan diameter tersempit untuk dua orang mengisi sepanjang jarak antar dinding. Tidak ada sofa, seperti pada banyak tempat kopi di Jakarta, tempat duduknya berupa kursi bertatakan bulat tanpa sandaran. Tempat ini cocok untuk coffee break, bukan semacam tempat hang out para sosialita.

Bangunan yang sempit, membuat jarak meja counter hanya beberapa langkah dari pintu masuk. Sambil berjalan, kuperhatikan sepertinya rombongan kecil turis asing dan domestik yang ada di sini bukan jenis yang biasa menyewa jasa tour and travel.

Menilai dari penampilan yang sporty dan ransel kompak yang dibawa, orang-orang ini kemungkinan besar adalah backpacker. Itu tidak mengherankan, mengingat Gunung Gambar bukanlah tempat wisata favorit di Yogyakarta.

"Yes, Miss, may I help you?" Pertanyaan dalam bahasa asing, menarik perhatianku pada sumber suara.

Aku tidak percaya. Di balik counter, lelaki yang tadi hampir menabrakku sedang tersenyum. Kali ini, senyumnya begitu semringah seolah dia senang bertemu denganku lagi. Baru kuperhatikan, jika tadi dia hanya mengenakan kaos polo navy blue, sekarang sehelai celemek hitam dengan bordir Kopi Bujang sudah melapisi bagian dadanya.

"Hot Americano," jawabku singkat. Rasa penasaran mengenai mengapa lelaki itu menggunakan bahasa asing membuatku setengah bertanya-tanya, jangan-jangan dia berpikir aku adalah salah satu dari sekian turis asing.

"Oke. Ten thousand rupiah." Murah. Aku mengeluarkan lembaran uang dari kantong celana training dan membayarnya. Dengan cekatan, lelaki itu berbalik dan mengulang pesananku pada barista yang berada di belakang. Ketika berbalik menatapku lagi, dia bertanya, "Where you'll be sitting?"

Pandanganku segera beredar mencari tempat yang tidak terlalu dekat dengan kelompok backpacker agar bisa menikmati secangkir kopi dengan suasana sempurna, sayangnya tidak ada. Jadi, kukatakan padanya, "Take away."

Mungkin hanya perasaan, tapi sepertinya aku melihat mata sewarna coca cola itu meredup dan sudut bibir si kasir, yang tadi terangkat, sekarang menukik turun. "Oh ...," ujarnya lemah, tanpa melepaskan pandangan dariku.

Baru setelah barista di belakangnya menyikut dan memanggil, "Bas, Hot Americano." Lelaki bercelemek itu mengerjap, seolah baru bangun dari tidur. Lekas dia mengambil gelas dari barista dan memberi penutup, tidak lupa seperangkat perlengkapan minum kopi dia siapkan, sebelum menyodorkan pesananku.

"Wait, Miss," panggilnya menghentikan langkahku, "what is your name?"

Secercah harapan yang memercik di kedalaman mata cokelat tua itu membuatku menarik diri. Kuputuskan untuk tidak memberitahunya. Bukan karena reputasi sebagai penulis terkenal, tapi aku merasa tidak nyaman jika harus memberikan detil informasi pada orang yang baru kukenal.

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now