HOLD ON - Justin Bieber

196 35 1
                                    

You know you can call me if you need someone
I'll pick up the pieces if you come undone

Painting stars up on your ceiling 'cause you
Wish that you could find some feeling
You know you can call me if you need someone


*****


"Tunggu di sini, jangan pulang sendiri, oke?" ujar Baskara, matanya menatapku lekat.

Aku mengerjap dengan bingung, meskipun begitu kuanggukkan kepala menjawabnya. Lelaki itu masih menatapku seolah meyakinkan dirinya jika aku pasti menunggu. Setelah itu, barulah dia pergi ke belakang galeri, mengikuti Bu Djatmiko, dan meninggalkanku dengan tanda tanya besar.

Selama beberapa saat, aku masih menatap ke arah mereka menghilang sebelum akhirnya kuputuskan untuk menyibukkan diri dengan berbagai kudapan dan teh manis yang disediakan di snack corner.

Pernyataan Baskara, jika aku adalah pacarnya, sesekali muncul dalam pikiran dan mengganggu selera makan. Mungkin, rasa khawatir ini berlebihan, tapi rona merah dan ekspresi Bu Djatmiko jelas mengatakan bahwa kehadiranku di sini adalah sebuah konflik dalam cerita.

Aku tidak menyukainya.

Pukul dua belas siang tepat, hidangan yang tersedia untuk para undangan diangkat oleh beberapa pelayan berseragam. Hingga panitia mengumumkan bahwa galeri dibuka untuk umum, batang hidung lelaki itu masih belum terlihat. Di antara cemasku, lelaki itu tiba-tiba muncul dari antara para pengunjung galeri yang mulai berdatangan.

"Pulang, yuk," ajaknya. Senyum Baskara yang merekah berbanding terbalik dengan sorot matanya. Ada kilatan kemarahan di sana. Namun, belum lagi sempat berkata, lelaki itu sudah merangkul bahuku dan mengajak pergi.

Panik karena sentuhan yang begitu akrab membuat napasku tercekat. Namun, tidak ada yang bisa kulakukan, selain melakoni peran sebagai pacar Baskara. Perasaanku mengatakan Bu Djatmiko pasti sedang memperhatikan kami dari sebuah tempat di dalam galeri. Paling tidak, itulah yang dilakukan peran antagonis dalam sebuah novel.

Di luar, di tempat yang cukup jauh dari Galeri Batik Djatmiko, Baskara melepaskan tangannya. Saat itu, barulah paru-paruku bisa menghirup udara dengan lega.

Kupikir, dia akan langsung bercerita mengenai pertemuan empat matanya dengan Bu Djatmiko tadi. Namun, sepanjang jalan menuju tempat parkir, Baskara hanya bertanya mengenai apa yang kulakukan selama dia pergi.

Ini tidak adil. Bagaimanapun, aku berhak tahu apa yang terjadi karena skenario ini telah melibatkanku. Jadi, begitu sampai di tempat Vespa-nya menunggu, kuputuskan untuk bertanya, "Kapan kamu mau jelasin sama aku, Bas, tentang kata-katamu tadi? Terus, apa yang kamu dan Bu Djatmiko bicarakan tadi? Apa itu mengenai aku?"

Pertanyaanku membuat Baskara bergeming. Alih-alih mengambil helm, lelaki itu berbalik, bersidekap, dan menyandarkan bokongnya di jok motor. Embusan napas berat mendahului kalimatnya, "Sedikit. Lebih banyak mengenai aku dan Lia."

Aku mengernyit. Lia?

"Bu Djatmiko ngejodohin aku sama Amalia, anak bungsunya. Aku enggak mau."

Pernyataannya menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah ini alasan Baskara menolak memanggilku Lia di awal perkenalan?

"Jadi, kamu manfaatin aku buat menghindari perjodohan? Itu enggak gentleman, Bas, aku enggak suka. Kenapa enggak langsung kamu tolak saja?"

Tangan lelaki itu menggaruk tengkuknya, yang aku yakin tidak gatal, lalu berdiri. Bukan menjawab, dia meneruskan apa yang tadi hendak dikerjakan, mengeluarkan helm-helm dari kait motor.

KOMPILASI LAGU SEMUSIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang