Untitled Part 48

196 38 13
                                    

Aku tidak percaya Ibu berniat mengaborsiku. Jika dia tidak menyukai Om Andreas, mengapa harus melimpahkan kebenciannya padaku? Mengapa Ibu begitu tega membunuhku yang masih berbentuk janin?

"Enggak usah nangis. Kenyataannya, tekad kuat Eyangmu berhasil menggagalkan niat Ayu. Saya melihat sendiri dengan mata kepala, bagaimana hari itu dia mengutuk keras keinginan Ayu. Menyumpahi anaknya jika sampai berani melakukan perbuatan haram itu."

Kebenaran yang dijabarkan Ibu Djatmiko membuatku sungguh terpukul. Tidak sedikit pun dari kata-katanya mampu mengurangi sakit hati yang kurasakan. Pantas, meskipun aku mengemis perhatiannya, sampai kapan pun Ibu tidak akan menyayangiku. 

Kupikir hanya perasaanku saja jika Ibu lebih sayang kepada Mas Wijaya. Kukira dia terlalu sibuk bekerja sehingga tidak bisa membagi perhatiannya padaku. Selama ini, aku mencoba mengerti jika Ibu sulit mengekspresikan perasaannya padaku karena dia seorang single parents. Namun kenyataannya, Ibu memang membenciku!

Hatiku seperti teriris sembilu. Air mata mengucur deras. Sesak menguasai dada. Aku berharap bisa mati saat ini, mungkin dengan begitu Ibu tidak akan terbebani lagi oleh dosa masa lalunya. Dosa yang seluruhnya dia limpahkan padaku.

"Saya terpaksa membongkar rahasia ini demi melindungi keluarga Djatmiko. Andreas enggak boleh tahu kalau kamu anaknya dan saya enggak akan membiarkan nama kamu ada dalam surat warisan keluarga ini. Setelah tahu semuanya, saya harap kamu segera pulang. Menghilang dari muka bumi."

Selesai mengatakan itu, Ibu Djatmiko berdiri. Namun sebelum beranjak pergi, dia kembali berkata, "Enggak banyak yang bisa saya kasih. Semoga ini cukup supaya kamu enggak lagi berhubungan sama Andreas. Saya juga tahu kamu sudah menikah. Kalau kamu masih punya hati nurani, tinggalkan Baskara. Dia milik Amalia, anakku."

Suara pintu yang terbanting menutup membuatku tidak lagi berusaha menahan air mata. Dalam temaran cahaya hotel, aku meringkuk dan menangis sepuasnya. 

Seharusnya waktu itu aku tidak mendengarkan bujukan Mas Wijaya untuk pindah ke kota bersama dia dan Ibu. Rasa sayang yang besar pada kakakku membuat aku rela meninggalkan Gunung Gambar. Mengapa Eyang tidak melarangku pergi dengan Ibu? Jika hari itu aku tidak pergi, tidak akan kurasakan kepahitan hidup seperti sekarang.


Alarm yang berbunyi membangunkanku dari lelap. Rupanya aku menangis hingga tertidur. Sebuah amplop cokelat di atas meja menegaskan kalau keberadaan Ibu Djatmiko kemarin bukanlah mimpi buruk. Tiga ratus juta tertulis di atas selembar cek, bukan nilai yang buruk untuk sebuah kompensasi agar aku meninggalkan keluarga Om Andreas. 

Kumasukkan amplop tersebut ke dalam tas untuk kupikirkan kemudian. Saat ini, aku hanya ingin bertemu Jhon, pulang ke Jakarta, dan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Yogyakarta di mataku bukan lagi kota yang menyimpan kenangan manis tentang masa kecil, melainkan sebuah kuburan kelam masa lalu.

Siap tidak siap, dalam beberapa menit Jhon akan tiba. Aku sudah pindah ke hotel Tentrem pagi tadi dan sekarang sedang berusaha untuk memoles wajah untuk menghilangkan bengkak di mata.

"Enggak pakai make-up pun kamu sudah cantik," sapa Jhon dari mulut kamar mandi membuatku terkejut setengah mati. Tiga langkah panjang dan dia sudah berada di belakangku. Tangannya melingkari pinggangku, sementara bibirnya di telingaku berbisik, "I miss you badly, Em."

Embusan napasnya yang menggelitik pendengaran membuatku terkikik geli. Jhon tidak menungguku membalas sapanya, lidahnya segera bergerilya ke liang telinga memercikkan listrik di seluruh tubuhku. Aku merindukannya.

Sementara bibirnya menelusuri leherku, dari pantulan cermin besar di depan diam-diam aku mengaguminya. Jhon tidak berubah, dia masih sangat tampan dan seksi. Tubuh yang berotot dalam balutan kemeja Armani membuat lelaki itu seperti baru keluar dari majalah Men's Style.

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now