I LIKE ME BETTER - LAUV

184 40 3
                                    

To be young and in love in New York City
To not know who I am but still know that I'm good long as you're here with me
To be drunk and in love in New York City
Midnight into morning coffee
Burning through the hours talking

Damn...
I like me better when I'm with you


*****


Dua hari setelah mengantarkan Rainbow Cake, Baskara tidak muncul lagi. Mungkin, lelaki itu trauma dengan reaksiku yang tiba-tiba menangis tanpa alasan. Seperti yang dikatakannya, dia takut dengan perempuan yang baper. Aku tidak menyalahkannya.

Ini menyedihkan, bahkan pertemanan saja tidak bisa kuselamatkan. Aku tidak tahu, apakah bisa menyelamatkan pernikahanku dengan John jika sesuatu terjadi?

Dua hari pula, aku tidak olah raga karena cuaca mendung, kadang disertai hujan ringan. Jadi, kusibukkan diri membantu si Mbok sekadarnya. Baru esoknya, ketika matahari terlihat mengintip di balik awan, langsung saja kukenakan sepatu training. Berbekal air mineral dalam botol, aku melesat keluar rumah.

"Em!" seru Baskara beberapa meter dari rumah Eyang, menghentikanku yang sedang mengunci pagar. "Mau olah raga? Yuk!"

Aku tidak percaya penglihatanku. Setiap kali berpikir telah kehilangan sosoknya, lelaki itu tiba-tiba saja muncul di hadapanku. "Bas ... Kurasa, sebaiknya kita enggak ketemu lagi."

"Ngomong apa, sih? Ayo, nanti keburu siang." Dia mengedikkan kepala, lalu berlari mendahuluiku.

Kubiarkan dia menjauh, lalu berkonsentrasi dengan pemanasan yang harus dilakukan sebelum lari. Kupikir, dengan mengulur waktu, lelaki itu akan pergi. Rupanya tidak. Baskara mengikuti gerakanku dari mulut gang.

"Ayo, Em!" teriaknya dari jauh. Khawatir lelaki itu akan membangunkan seluruh penghuni kaki Gunung Gambar, buru-buru aku menyusulnya.

Bersama, kami lari pagi. Udara dingin memasuki musim penghujan, temani langkah kami menjajaki jalan menuju ke atas. Aku terkejut dengan performanya hari ini. Meskipun dengan napas agak berat, lelaki itu bisa menyelaraskan kecepatan larinya denganku.

Setelah istirahat sebentar dan minum, kami kembali berlari turun ke bawah. Saat melewati tanah lapang, tempat anak-anak bermain, aku berhenti.

"Bas, kamu lanjut saja, aku mau istirahat di sini sebentar," ujarku di tengah napas yang memburu. Memang tinggal beberapa meter lagi ke mulut gang rumah Eyang, tapi hari masih terlalu pagi untuk pulang.

Dia menggeleng. "Aku temenin." Aku baru akan membantahnya, tapi Baskara duluan berkata, "Jangan pakai alasan kafeku akan buka, Em, ini masih terlalu pagi."

Aku menggigit bibir, dari mana dia tahu aku akan mengatakan itu?

Tidak mau berdebat, kubiarkan dia mengekor. Kami duduk di bawah pohon mangga, yang sepertinya sudah ada di sana sejak aku kecil, menatap hamparan rumput yang tidak rata. Sebagian subur, sebagian botak. Bukan tidak subur, tapi bagian tanah itu jadi gundul karena digunakan anak-anak sebagai tempat permainan bola sepak.

"Capek?" tanya Baskara.

"Enggak," ujarku sambil menggeleng, "cuma pengin ke sini saja, nginget masa kecil."

"Masa kecil?" herannya. Lelaki itu lalu mengubah posisi duduknya dan bersila menghadapku.

Aku mengerti, dia pasti terkejut menemukan kenyataan jika teman barunya tidak seperti yang diperkirakan. Setelah mempertimbangkan sebentar, kupikir ada baiknya membagi sedikit mengenai latar belakangku. "Waktu kecil, aku sering main di sini, persis kayak anak-anak yang tiap sore lelarian keluar gang."

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now