CAN'T STOP THE FEELING - Justin Timberlake

216 40 0
                                    

Ooh, it's something magical
It's in the air, it's in my blood, it's rushing on
I don't need no reason, don't need control
I fly so high, no ceiling, when I'm in my zone


Cause I got that sunshine in my pocket
Got that good song in my feet
I feel that hot blood in my body when it drops
I can't take my eyes up off it, moving so phenomenally
You gon' like the way we rock it, so don't stop


*****


Horizon di kejauhan tampak benderang di bawah matahari pagi yang mulai naik. Pucuk-pucuk pohon dan atap rumah penduduk yang subuh tadi tak terlihat, sekarang bersimbah cahaya keemasan.

Meskipun hari Minggu, arus manusia yang turun, menuju ke jalan utama di bawah, lebih ramai dari hari biasa. Gerombolan perempuan membawa bakul jualan. Dua orang lelaki mengendarai gerobak motor penuh dengan sayur mayur. Dan, kelompok-kelompok kecil orang berbondong menuju dataran rendah untuk mencari nafkah.

Namun, bukan pemandangan itu yang membuat kakiku berhenti berlari. Di mulut gang menuju rumah Eyang, titik kuning yang mencolok pada turunan jalan seolah mengundang mampir untuk sekadar menikmati kopi pagi dan meneruskan perbincangan tiga hari lalu, ketika Baskara mengantarku pulang.

Tidak. Aku sudah memutuskan tidak menemuinya lagi. Sesuatu mengenai Baskara tampak terlalu familiar. Itu membuatku takut.

Mungkin, lelaki itu tidak bermaksud jahat. Mungkin, dia hanya ingin berteman. Tapi, pertemanan adalah salah satu hal yang kuhindari. Aku tidak perlu orang-orang baru masuk dalam lingkaran nyamanku.

Kata Andi, wajah pemurung dan sifat dingin yang kumiliki membuat orang lain berpikir tujuh kali untuk mendekat, apalagi berteman. Jadi, seharusnya wajah murung ini membuat lelaki itu tidak acuh, bukannya malah tersenyum semringah sepanjang hari. Dan, seharusnya sifat dinginku membuat dia menjauh, bukannya malah mencurahkan keramahan.

Sungguh mengesalkan! Sebutir kerikil yang kutendang menggenlinding turun dan sekali lagi memerangkap pandanganku pada kafe kuning di bawah.

Kemampuan linguistik Baskara, tanpa sadar buatku larut dalam perbincangan yang dimulainya satu arah. Betapa mudah, lelaki itu memancing rasa penasaran aku mengenai banyak hal, misalnya bagaimana dia tahu namaku. Walaupun akhirnya, aku yakin Baskara pasti membacanya pada muka catatan.

Lalu, mengenai rencananya terhadap kafe kuning. Untuk apa seorang arsitek ingin membeli lahan lebih luas di daerah terpencil seperti ini? Jika dia berencana membangun sesuatu yang besar dan mengubah seluruh tatanan kehidupan di kaki Gunung Gambar yang sederhana, aku tidak akan membiarkannya.

Pikiranku mulai menggambarkan penghancuran hutan, penggusuran paksa orang-orang dari tempat lahirnya, pembangunan yang fungsinya tidak pada tempat, pengrusakan ekosistem lingkungan, dll.

Ya, ampun, apa yang sedang kupikirkan?

Aku mengurut wajah dan menarik napas panjang. Masalah sendiri saja belum selesai, aku malah memikirkan sesuatu yang lebih besar dan belum tentu terjadi. Memalingkan wajah, kubulatkan tekad untuk pulang ke rumah Eyang.

Tepat di depan pagar, kulihat tubuh kecil Mbok Ratih sedang kepayahan menarik kasur kapuknya untuk dijemur. "Tunggu di situ, Mbok, aku datang!" seruku menghentikannya. Mendapat bantuan tepat pada waktunya, membuat senyum perempuan tua itu merekah.

Berdua, kami menyeret kasur kapuk yang berat dan menempatkannya di atas kursi-kursi yang sudah dijajarkan di pekarangan depan, lalu memukul-mukul permukaan kasur dengan rotan agar gumpalan isi di dalamnya kembali terurai. Tidak butuh waktu lama, hingga pekerjaan itu selesai dan si Mbok menggandengku masuk ke rumah.

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now