Untitled Part 54

247 33 7
                                    

Kokokkan ayam jago yang bersahutan memberitahuku jika hari telah fajar. Sejak menerima telepon dari Jhon kemarin, mataku tidak kuasa terpejam, pandanganku masih menatap nyalang langit-langit kamar berwarna putih kusam dengan tekstur buram anyaman jerami.

Kupikir, Jhon meneleponku untuk memberikan kabar baik. Kupikir, dua hari ini dia mungkin sudah mempertimbangkan banyak hal dan memutuskan untuk berbaikan. Bagaimanapun, rumah tangga memang seperti itu—hari ini bertengkar, besok mungkin sudah berbaikan—tapi aku salah.

"Kurasa sebaiknya kita break dulu," kata Jhon. Suaranya begitu rendah dan datar, seolah yang berbicara dari ujung sambungan bukanlah suamiku. 

Break? Apa yang dimaksud dengan break? Kalimat itu terus berputar-putar seperti pita kaset kusut dalam otakku. Apakah Jhon menginginkan perceraian atau sekadar waktu istirahat untuk introspeksi diri? Jika hanya waktu yang dia inginkan, pertanyaannya adalah sampai kapan?

Selama bertahun-tahun menunggu suamiku pulang, baru kali ini aku merasa lelah tak terkira. Tidak seperti sebelumnya di mana Jhon selalu menanyakan kabarku, pembicaraan kemarin di telepon seperti terjadi satu arah. Dia tidak menanyakan kabarku ataupun menceritakan perasaannya. Dia bahkan tidak memberitahu kapan akan kembali. Jhon hanya mengatakan, "I'll call you, Em, kalau aku sudah memikirkan jalan keluar terbaik untuk kita berdua."

Terbaik untuk kita berdua? Bagaimana Jhon tahu itu yang terbaik untuk hubungan kami jika dia tidak mengajakku berdiskusi? Baskara benar, Jhon adalah lelaki yang egois! 

Air mataku kembali merebak ketika kalimat terakhirnya terngiang sebelum sambungan di ujung telepon terputus."I am so sorry, Em."

***

Belaian di kening perlahan menyadarkanku dari tidur. Silau. Aku mengerjap dan memfokuskan pandangan pada sosok yang menjulang di samping ranjang sambil bangkit untuk duduk. 

"Ada apa, Mbok?" tanyaku sambil mengamit tangannya. Perempuan tua itu tidak berkata apa-apa, tetapi keriput di wajahnya yang tampak sangat kusut hari ini tidak luput dari pandanganku. 

"Kamu yang ada apa, Lia? Mbok khawatir."

Aku terkekeh. "Khawatir kenapa, Mbok? Enggak ada pa-pa kok khawatir?"

"Mungkin kamu pikir mata si Mbok sudah rabun jadi enggak bisa melihat jelas. Atau, telinga si Mbok sudah budeg jadi enggak bisa mendengar isakan kamu. Tapi Mbok enggak perlu mata dan telinga untuk tahu kalau kamu kenapa-kenapa."

Kalimat Mbok Ratih membuatku menggigit bibir. Kupikir, Mbok Ratih tidak akan curiga perihal kehidupan rumah tanggaku setelah kemarin aku membantunya di dapur, membersihkan rumah, menjemur baju, melakukan hal-hal rutin yang biasa kukerjakan selama tinggal di sini. Kupikir, drama 'baik-baik saja' yang kuperankan berhasil mengelabuinya.

"Ada apa-apa cerita toh, Li. Mbok enggak akan cerita ke Ayu atau Mas Wijaya."

Kugelengkan kepala. "Bukan gitu, Mbok. Aku tahu Mbok enggak akan cerita ke mana-mana. Aku cuma takut jadi beban si Mbok."

Tatapan prihatin Mbok Ratih membuatku memalingkan wajah. Baru saat itu kusadari garis-garis motif pada batik yang menutupi jendela kamar tampak tegas, menandakan jika matahari sudah lewat dari tengah hari. Pantas saja si Mbok khawatir, aku tidak pernah bangun siang. Jika sudah begini, rasanya tidak mungkin untuk menghindar dari pertanyaannya.

Kutarik napas panjang sebelum mulai bercerita, "Aku dan Jhon bertengkar hebat." 

Kalimat demi kalimat kemudian meluncur dengan mulus. Kuceritakan alasan kami bertengkar dan bagaimana akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan Jhon. Tidak ketinggalan, kuceritakan juga pada si Mbok isi percakapan telepon dengan suamiku kemarin. Tentu saja tidak semuanya serta-merta kuceritakan, seperti tentang Baskara dan Ibu Djatmiko. Aku tidak ingin menambah kekhawatirannya dengan masalahku yang lain. 

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu