LOCATION UNKNOWN - Honne

357 58 11
                                    

I still think of you too if only you knew
When I'm feeling a bit down and I wanna pull through
I look over your photograph
And I think how much I miss you, I miss you


I wish I knew where I was 'cause I don't have a clue
I just need to work out some way of getting me to you
'Cause I will never find a love like ours out here
In a million years, a million years


***


Seperti janji kakakku, sebuah nomor kontak terkirim dalam pesan singkat: Aulia Lukman Aristanto. Aku mengernyit, perempuan?

Seingatku, empat tahun kuliah di jurusan teknik mesin, Mas Wijaya tidak pernah membawa perempuan ke rumah. Jangan-jangan, dia diam-diam memiliki hubungan spesial dengan Mbak Aulia sampai-sampai tahu usaha orang tuanya.

Aku menggeleng. Bukan saatnya kepo dengan hubungan Mas Wijaya dengan Mbak Aulia saat ini, terutama mereka adalah orang-orang yang akan menolongku. Jika Mbak Aulia adalah kekasih kakakku, itu justru bagus, mungkin Mas Wijaya sebentar lagi ikut pindah ke Jakarta. Dengan begitu, hidupku akan lebih mudah.

Alamat yang diberikan ternyata masih di bilangan Senen-Jakarta Pusat. Dengan sarana ojek pangkalan, tidak sampai dua puluh menit, aku sampai di depan rumah kos yang besar dan berpagar tinggi, serta memiliki halaman luas untuk parkiran mobil dan motor.

Kusebutkan nama orang yang ingin kutemui pada asisten rumah tangga yang menyambut di pintu. Ekspresi perempuan paruh baya itu sungguh lucu, dia terlihat seperti orang tersedak saat aku berkata: Mbak Aulia.

Terburu-buru, dia mempersilakan aku duduk sebelum pergi. Belum lagi jauh, aku mengernyit mendengar cekikikannya memantul pada dinding koridor. 

Cukup lama menunggu, kuputuskan membuka-buka salah satu majalah di ruang tamu. Baru membaca setengahnya, suara tidak familiar bernada ramah membuatku menengadah dari tempat duduk. "Kamu ... Emilia, adiknya Wijaya, 'kan? Ah, aku ingat sekarang."

Lelaki yang menjulang di hadapku berkulit bersih dengan wajah oriental. Bahunya yang lebar tertutup kaus Dagadu berwarna pink bertulisan: Kapan ke Jogja lagi?

Kurasa ... jawabanku adalah tidak dalam waktu dekat. "Betul, Mas siapa, ya?" tanyaku setelah sistem pencarian dalam otak gagal menemukan sosok lelaki ini.

Alis tebalnya terangkat, kemudian lelaki itu berkacak pinggang. Dia bertanya, "Lah, kamu mau ketemu siapa?"

"Mbak Aulia, teman Mas Wijaya."

Tawa lelaki itu seketika pecah, sampai-sampai dia membungkuk memegangi perut. Tergopoh-gopoh, tubuhnya beringsut ke sofa terdekat dan mendudukkan diri di sana, tapi tawa itu belum juga reda. Aku menatapnya heran.

"Oh, ya, ampun ...." Napas lelaki itu terengah saat berusaha menelan tawa. Senyum yang terkulum di sudut bibir yang terangkat membuatku dapat menilai jelas. Meskipun rambutnya gondrong sebatas bahu dan ditahan dengan bando hitam, lelaki ini tampan. "Apa—apa Jaya bilang Aulia itu perempuan?"

"Enggak."

Dia menyeringai, memamerkan deretan gigi yang rapi. "Jadi, itu asumsi kamu. Kalau sampai Jaya yang bilang, aku kebiri kakakmu sekarang juga." Lelaki itu bangkit dari kursi. Dia mengelap tangan di kaus sebelum mencondongkan tubuh dan mengulurkan telapaknya padaku. "Kenalin, Aulia Lukman Aristanto. Panggil Lukman atau Aries atau Tanto, yang mana saja yang kamu suka, tapi please ... jangan Aulia."

Meskipun tercengang, merasa konyol, dan tidak mampu berkata-kata, tanganku otomatis bergerak menjabat telapaknya yang lebar. Wajahku saat ini pasti merah karena lelaki itu kemudian berkata, "Udah enggak perlu malu, satu kali aku maafin. Jangan ada lain kali. Itu namanya sengaja."

KOMPILASI LAGU SEMUSIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang