MY KIND OF GIRL - McKnight & J.T.

233 44 0
                                    

When you talk, I hang on every word you say
When you move, you're like the breeze on a summer day
When you smile, the sky turns from gray to blue
That's what you do

And you're the kind of girl I think of
And you're the kind of girl I dream about
My heart is telling me I need you in my world, my world
'Cause you're my kind of lady
You're my kind of girl


*****


Patek Phillip, hadiah ulang tahun pernikahanku yang ketiga dari John, menunjukkan pukul 17.15. Semburat oranye masih menggantung di langit, bercampur dengan warna malam yang perlahan menyelimuti. Angin sepoi-sepoi, sejuk menemani langkahku menelusuri jalan, menuju Kopi Bujang.

Lampu penerangan jalan yang dipasang berjarak belum lagi menyala, tapi suasana kafe sudah terang benderang. Kata 'OPEN', yang tertulis dalam huruf tebal pada kartu petunjuk di jendela, membuat aku tidak ragu melangkah masuk.

Kedatanganku bukan hanya disambut dentingan lonceng pintu, tapi juga sapa ramah seorang lelaki dari baliknya. "Sorry, Miss, we're about to close." Aku mengenalnya, dia adalah si barista.

"Close?" Meskipun kecewa, tidak ada yang bisa kulakukan selain berkata, "Oh ... oke."

"Oh, my God. No!" seru seseorang dari bagian belakang kafe membuat barista di depanku memutar tubuh menghadap sumber suara. Dengan begitu, aku bisa melihat siapa yang bicara. "We're still open, Miss."

Ternyata dia, si kasir dengan bola mata berwarna coca cola. Tubuhnya yang tinggi dan ramping bergerak dengan gesit di antara kursi-kursi. Saat berdiri di depanku, lagi-lagi senyum semringahnya mekar terlalu lebar, tapi kali ini dengan cepat dia mengulumnya.

Aku tidak mungkin tidak memperhatikan penampilannya yang berbeda malam ini. Celemek yang telah ditanggalkan dan dua kancing kaos polo yang tidak terkait, membuat kesan terlalu maskulin untuk seorang kasir.

"Bas, enggak salah lo? Sudah jam lima, loh," ujar si barista sambil menyenggol temannya dengan siku.

"Sssh! Terserah gue mau tutup kapan? Kalau lo mau pulang, gih. Gue bisa handle sendiri," tukas si kasir pada temannya, lalu pandangannya teralih lagi padaku. "Eh, uhm ... Hot Americano again?"

"Enggak pa-pa, Mas. Besok, aku kembali lagi."

"No, please! Eh, bisa Bahasa Indonesia?" Sudah kuduga, dia pasti mengira aku adalah salah satu tamu asing yang mampir di kafenya. Mimik heran lelaki itu seketika berubah menjadi rasa senang, terbukti dengan seringai yang perlahan mengembang dan membuat lesung pipinya nyata. "Kafe masih dibuka, kok. Masih ada beberapa tamu yang baru datang, jadi enggak mungkin tutup. Gimana? Mau pesan apa?"

"Tiati, Mbak, di sini banyak serigala berbulu domba," sela si barista sambil melirik temannya.

Si kasir yang merasa tersindir, membalas sikutan yang tadi dilayangkan padanya. "Jangan dengerin dia. Malam jumat gini, emang suka kumat."

"Cih! Ya, udah sana, kalau masih mau buka. Gue duluan, Bas, mau ngapel pacar." Si Barista, yang berpostur kurus, membungkukkan tubuh dengan sopan dan tersenyum. "Pamit dulu, Mbak. Permisi."

Sesaat setelah pintu menutup, si kasir mengembalikan perhatiannya padaku. "So, kamu mau minum apa?"

Kamu? Aku mengernyit. Umumnya, orang yang tidak saling mengenal akau memanggil dengan panggilan Kakak/Adik, atau Mbak, atau bahkan Ibu, tapi lelaki ini menggunakan kata 'kamu', seolah aku dan dia adalah teman dekat. "Uhm ... cappuccino saja. Hot. No sugar."

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now