MARVIN GAYE - Charlie Puth & Meghan Trainor

186 38 4
                                    

Let's Marvin Gaye and get it on
You got the healing that I want
Just like they say it in the song
Until the dawn, let's Marvin Gaye and get it on

You got to give it up to me
I'm screaming, "Mercy, mercy, please!"
Just like they say it in the song
Until the dawn, let's Marvin Gaye and get it on


*****


Esok paginya, aku dan Baskara berdiri di hadapan Mbok Ratih. Dengan tas ransel berisi peralatan rias dan beberapa potong pakaian tersampir di punggung, aku mendengarkan nasihatnya sebelum berangkat ke kota.

Kata si Mbok, "Kalian berdua sudah dewasa, jadi Mbok enggak mau kasih nasihat panjang lebar. Mbok cuma pesan, Li—" kusambut tangan kurusnya yang terulur, "yang sopan di rumah orang. Jaga diri baik-baik."

Aku mengangguk. "Ya, Mbok."

Pandangan si Mbok lalu beralih ke lelaki di sampingku. "Mas Baskara, jangan lupa janjinya sama Mbok. Ingat, Lia sudah nikah."

Lelaki itu mengangguk dengan antusias. "Ya, Mbok. Aku janji jaga Emilia baik-baik."

"Yo, wes, hati-hati di jalan," katanya sambil mengulas senyum tipis. Meskipun terlihat baik-baik saja, mata tua itu memancarkan kekhawatiran. Pandangannya tidak lepas dari kami hingga Vespa biru Baskara benar-benar berlalu dari depan pagar rumah Eyang.

Cuaca yang cerah dan berangin menemani perjalanan kami ke pusat kota Yogyakarta. Kurang lebih satu jam, akhirnya kendaraan bersumbu dua itu berhenti dan parkir di pinggir Jalan Wijilan yang merupakan sentra gudeg Yogyakarta.

Gudeg Yu Djum, tulis spanduk yang terbentang pada bagian muka restoran. Aku pernah kemari semasa remaja, jadi tidak heran jika tempat ini sudah banyak berubah. Melihat daftar menu, tampaknya ada satu hal yang tidak berubah di sini. Meskipun enak, harga Gudeg Yu Djum tergolong mahal.

Dua porsi gudeg dan es teh tawar dengan cepat disajikan, sudah lama aku tidak mencicipi kelezatan rasa manis rempah tradisional berbalur dengan gurihnya santan dengan taburan rawit. Kami makan dengan lahap, lelaki itu bahkan tambah satu porsi lagi lengkap dengan tempe dan tahu bacem.

Saat di kasir, meskipun aku berkeras untuk mentraktir, Baskara berargumen dia yang harus membayar karena makannya lebih banyak. Karena khawatir antreana akan mengular jika aku terus mendebatnya, akhirnya kurelakan dia membayar sambil diam-diam mencatat semua hutang-hutangku padanya.

"Mas Baskara? Tumben di sini?" sapa seorang perempuan. Sosoknya yang terhalang tubuh Baskara membuatku tidak bisa melihat siapa gerangan.

Aku menyelinap ke sisinya dan sedikit menjauh agar keberadaanku dan Baskara tidak terlalu kentara. Rupanya, Amalia Djatmiko. Lelaki itu melirik ke arahku sebentar lalu mengembalikan pandangannya pada perempuan di depan.

"Uhm ... hai, Lia?" Baskara membersihkan tenggorokannya sebelum menjawab pertanyaan tadi. "Nanti malam ada undangan—"

"Oh, iya, anak Om Hendra, 'kan?" potong Amalia dengan antusias, setelah itu dia terlihat malu-malu. "Mas ... datang?"

Paras anak bungsu Ibu Djatmiko tidak hanya rupawan ketika hadir di pembukaan galeri saja. Saat seperti ini, dalam cuaca siang yang gerah dan dalam kaos abu-abu polos yang sederhana, Amalia Djatmiko tetap cantik luar biasa.

Rias wajah yang tipis tidak memudarkan pesonanya. Rambutnya yang tebal, berkilau, dan terawat, mengombak hingga ke punggung. Itu semua dan tubuh rampingnya membuat dia terlalu sempurna.

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now