Untitled Part 52

222 41 7
                                    

Jam dinding kamar menunjukkan sudah lewat pukul sembilan malam saat kami selesai makan. Memang sudah lewat waktu makan malam ketika akhirnya si pemilik Kafe Bujang turun dari tempat usahanya di atas dengan hanya dua piring Indomie goreng dan sepiring nasi putih, sebuah wadah air panas kecil terkepit di ketiaknya.

Lelaki itu sempat terkesima waktu memasuki kamarnya tadi. Untuk mengisi waktu, aku membereskan kamar Baskara dan mengatur kembali barang-barang sesuai tempatnya. Lantai sudah kupel hingga licin dan seluruh pakaian yang dijemur sudah kuangkat. Mengenakan pakaian dalamku lagi di bawah kaos yang kebesaran membuatku merasa tidak serapuh tanpanya.

"Tadi pagi, badan kamu kayaknya agak hangat, aku khawatir kamu sakit. Penginnya sih masak yang enak, tapi takut kalau lebih lama lagi kamu sudah koma di bawah sini." Semringah Baskara mengembang, memamerkan kerlip bintang di matanya yang rasanya lama tak terlihat.

Aku mengerti kesibukannya. Menjelang akhir tahun seperti ini, kafe pasti ramai sekali. Andai aku bisa membantunya dan bukannya hanya tidur-tiduran di bawah sini. Namun, lain halnya dengan dia. 

Baskara masih saja tidak enak hati karena merasa telah menelantarkan dan membiarkan aku kelaparan. Sesekali kata maaf tersemat di antara suapan-suapan besar yang menandakan dia sendiri sebenarnya juga menahan lapar dari tadi.

"Sudah kamu pikirkan apa yang akan kamu lakukan sekarang, Em? Apa kamu masih berniat pulang ke Jakarta?" tanya lelaki itu sambil menyingkirkan piring bekas dan peralatan makan, lalu tangannya lanjut menjangkau wadah air panas yang dibawanya tadi.

Aku menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangan pada kopi panas yang dituangkan Baskara ke dalam dua cangkir di depannya. Semerbak aroma biji buah segera menguasai penciumanku. Aku menghidunya dalam-dalam seolah-olah itu adalah candu yang dapat mengurangi kalut hati.

"Belum. Aku belum memikirkannya," jawabku sambil menggeleng pelan. Pandanganku kembali turun pada cangkir yang berisi cairan hitam dan pahit. Persis seperti hidupku, pikirku getir.

Baskara tidak tahu, sepanjang hari aku berusaha melupakan semuanya. Berusaha melupakan jika suamiku menyusul aku ke Yogyakarta untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami. Berusaha melupakan jika Jhon telah berselingkuh dengan si penerjemah. Berusaha melupakan jika aku dan dia hampir saja bercinta di kamar ini.

Embusan napas panjang lelaki itu menarik pandanganku naik. Dia mengangkat cangkir, tapi tidak menyeruput kopinya. Tatapannya yang fokus padaku perlahan meredup lalu tampak kosong. "Perempuan dalam bingkai foto yang kubuang itu adalah mantan tunanganku."

Aku mengernyit dan mengerjap tidak percaya. Dulu, kami sempat bertengkar karena bingkai foto yang menampilkan kemesraan Baskara dengan seorang wanita. Waktu itu, dia sangat marah dan menolak bercerita. Tidak kusangka, Baskara akan membahas masa lalunya denganku sekarang.

"Undangan sudah di sebar dan ballroom Hotel Ritz Carlton sudah ku-booking sesuai permintaan dia. Kalau kamu bilang Jakarta-Aussie itu dekat, ternyata enggak sedekat itu. Sebulan sebelum hari-H, aku memutuskan pulang lebih cepat dari yang kujanjikan pada tunanganku, maksudnya untuk membuat kejutan.

Ternyata, aku yang dikejutkan dengan pemandangan tunanganku berada di atas pangkuan sahabatku. Itu bukan ciuman biasa. Dia mengerang, sementara tangan si berengsek ada di dalam kaos tunanganku. Bisa kamu bayangkan bagaimana perasaanku?" Baskara lagi-lagi mengembuskan napas panjang, bola mata kecokelatan itu tampak memerah.

"Ada niat untuk membunuh sahabatku detik itu juga, tapi entah kenapa enggak aku lakukan. Aku malah pergi sambil membanting pintu. Enggak ada salah satu dari mereka yang mengejar aku untuk minta maaf. Dan, kata maaf juga tidak kunjung datang hari-hari setelahnya, sampai saat ini. Kupikir, kalaupun mereka minta maaf, aku enggak sanggup memberikan."

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now