Untitled Part 47

145 35 10
                                    

Aku tidak tahu apakah harus merasa malu atau kecewa ketika Baskara memaksaku pulang ke rumah Eyang. Dia membungkus aku dengan jas hujan dan mendorongku keluar kamar tanpa peduli jika di luar hujan turun deras. Lelaki itu menolak meskipun aku menangis dan memohon agar bisa bersamanya semalam saja sebelum bertolak ke Jakarta, tapi--

Kutangkupkan tangan ke wajah dan perlahan mengusap kulit yang terasa dingin. Baru kali ini aku melihat sisi Baskara yang berbeda. Rasa putus asa dan kesakitan membayang dalam netra cokelatnya yang menggelap saat menyatakan seluruh perasaannya. Dadaku sakit, nyeri seperti tertusuk duri.

Jika saja ada jalan untuk memutar kembali sang waktu, aku tidak akan memilih pulang ke Yogyakarta. Dengan begitu, aku tidak akan bertemu dengannya yang telah menunjukkanku kebahagiaan-kebahagiaan kecil dari waktu ke waktu.

Bahagia, kata itu membuatku terkekeh. Seharusnya aku sadar dari awal bahwa aku tidak ditakdirkan untuk itu. 

Baskara telah melakukan hal yang benar dengan memulangkanku, meskipun kami berdua terluka. Aku tahu .... Air mata jatuh saat menatap kotak dalam genggaman yang berisi kalung dan anting perak dari Galeri Djatmiko, benda yang menyimpan kenangan tentangnya.

Sekeliling kamar sudah rapi seperti saat aku tiba pertama kali. Lemari pakaian, meja tulis, hingga langit-langit bermotif anyaman bambu tampak berbeda hari ini. Ruangan ini tampak dingin dan tidak bernyawa, seolah membenciku yang kembali pergi meninggalkan rumah. Satu-satunya yang berbicara hanyalah sebuah koper besar yang berdiri tegak di samping pintu masuk.

"Li, taksinya sudah sampai," panggil Mbok Ratih. Suaranya begitu lirih, membuatku berat hati meninggalkan rumah Eyang.

Buru-buru kuhapus jejak air mata sembari menyahut, "Ya, seben--"

Belum lagi kalimatku selesai, si Mbok sudah menghambur ke dalam kamar dan memelukku. Air mata yang baru saja kuhapus kembali meleleh lebih deras. Untuk beberapa saat, kami bertangisan tanpa kata-kata. 

"Telepon Mbok. Kabari kalau sudah sampai di Jakarta," pesannya disela bersitan hidung. Tangan rapuhnya dengan sayang mengelus punggungku sebelum dia menjauhkan diri. "Jangan lupa usaha. Mbok yakin, kamu bisa dapat momongan. Berdoa juga sama Gusti Allah." Aku mengangguk, mengiyakan semua kalimatnya.

Sekali lagi kami berpelukan di mulut gang sebelum aku melangkah ke dalam taksi. Dari kaca belakang kendaraan, kuperhatikan sosok kurus si Mbok yang masih berdiri di mulut gang mengantar kepergianku. Dalam hati aku berdoa, semoga Tuhan memberikan umur panjang dan kesehatan yang baik padanya agar kami bisa bertemu lagi.

Saat membalikkan tubuh, pandanganku terkunci pada bangunan bercat kuning di pinggir jalan. Lekas kugeser tempat duduk lebih dekat ke pintu agar dapat melihat Baskara barang sebentar saja. Namun, dia tidak di sana. Jendela besar itu hanya memperlihatkan Kinarsih dan Jono yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. 

Apakah Baskara baik-baik saja? Apakah dia masih marah? Apakah tidurnya nyenyak kemarin? Dadaku sesak karena mengkhawatirkannya. 

Kuharap, kepergianku tidak membuat luka yang dalam seperti saat dia menemukan tunangannya berselingkuh. Aku, seorang perempuan asing di Gunung Gambar, tak ada bedanya dengan para turis yang silih berganti datang ke Kafe Bujang. Aku sama sekali tidak spesial. 

Orang sepertiku seharusnya bisa digantikan dengan mudah, pikirku. Walaupun ditujukan untuk menghibur diri, tak ayal sebulir air mata kembali lolos.

Kendaraan sewa roda empat itu terus turun melintasi jalan berliku ke pusat kota Yogyakarta. Matahari semakin tinggi, udara semakin panas. Memasuki keramaian lalu lintas menjelang sore hari, telepon genggamku berbunyi dua kali lalu mati. Dua misscall dari nomor tidak dikenal, menyusul satu notifikasi pesan singkat muncul. 

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now