Untitled Part 53

164 32 9
                                    

"Apa yang kamu suka dari Jhon?" Pertanyaan Baskara pagi ini mengurungkan niatku, menegak kopi panas yang menutup makan pagi kami berupa setangkup roti dengan isian mentega dan gula. "Apa yang ... bikin kamu jatuh cinta sama dia selama ini?"

Untuk beberapa saat, manik mata kecokelatan yang teduh memerangkapku sebelum akhirnya aku mampu memalingkan wajah. Jauh di depan, hamparan kabut tebal masih menyelimuti lembah, seluruh pemandangan tampak seperti lukisan monokrom saat hari mendung seperti ini. 

Aku menarik napas panjang sembari meletakkan kembali wadah kafein ke atas meja. Tangkupan tanganku pada sisi mug bergeming, enggan meninggalkan kehangatannya. Sekonyong-konyong, wajah lelaki yang telah menikahiku selama tiga tahun membayang dalam pikiran. 

Aku tidak tahu harus memberi jawaban apa padanya, semua tentang Jhon begitu sempurna--fisiknya, kecerdasannya, kemampuan finansialnya. Dia juga tidak arogan, pekerja keras, berdedikasi tinggi, dan entah berapa banyak lagi sifat baik yang dimilikinya.

Hanya saja ....

"Jhon enggak kayak lelaki mana pun yang pernah kutemui. Meskipun kedua orang tuanya adalah orang terpandang dan pengusaha sukses, dia enggak pernah bergantung pada bisnis keluarga. Semua yang didapatkannya hari ini adalah hasil kerja keras. Aku ... mengaguminya."

Tidak ada balasan dari Baskara, kami berdua seolah sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing dan kehangatan kopi hitam buatannya. Keheningan yang terhampar membuat waktu seolah berhenti. Hanya gemerisik dedaunan dan semilir angin sejuk yang membelai wajahku menjadi pertanda bahwa dunia masih berputar. 

Jhon ...  apa yang sedang dia lakukan sekarang?

Sebagai tangan kanan Presiden Direktur Regional Asia Pacific, dia tidak hanya bertanggung jawab atas kantor pusat perusahaan di Indonesia, tapi juga urusan bisnisnya di seluruh dunia. Perbedaan jam dengan belahan dunia lain itulah yang membuat pekerjaan Jhon menyita hampir seluruh waktunya. 

Jika dipikir lagi, mungkin kehidupan Jhon mungkin tidak lebih baik daripada aku yang menunggunya berhari-hari di rumah. Alih-alih kesal, seharusnya aku berterima kasih bahwa suamiku masih menyempatkan waktu untuk menelepon atau mengirimkan pesan singkat di sela-sela kesibukannya. 

Perasaan bersalah tiba-tiba muncul, mengingat aku belum pernah mengatakan kepadanya perihal rasa kagum. Bukan tidak mau memujinya, tapi Jhon begitu sempurna. Lelaki itu selalu mengundang decak kagum dari lawan bicaranya bahkan pada pandangan pertama. Itu membuatku merasa kecil hati, takut jika rasa kagumku tidak berarti apa-apa di telinganya. Maksudku, pujian apa yang tidak pernah dia dengar?

Kesadaran itu mengguncangku. Jhon mengatakan alasannya selingkuh adalah karena kebutuhan, apakah yang dimaksudnya bukan kebutuhan lahiriah tetapi kebutuhan akan apresiasi secara lisan? Apakah Jhon merasa aku tidak menghargainya sehingga dia mencari pemujaan dari perempuan lain? Apa—

"Itu saja?"

Aku mengerjap. Suara bariton Baskara menarik perhatianku dari warna pekat isi mug hangat dalam genggaman. Kedalaman tatapannya seketika membuatku gugup, khawatir jika lelaki itu bisa membaca pikiranku.

"Dia ... jujur, bahkan ketika dia—" selingkuh, lanjutku dalam hati. Aku mengerjap untuk mengusir air mata yang mendesak turun.

Pikiranku membawa lagi memori mengenai bagaimana Jhon selalu menceritakan mengenai ambisi atasannya, itinerary-nya di luar negeri, apa saja yang dikerjakannya, meskipun aku tidak bertanya. Cerita yang selalu kuabaikan karena rasa jengkel akan keberpihakannya pada pekerjaan ketimbang padaku. 

Lagi-lagi, pertanyaan-pertanyaan muncul. Apakah Jhon merasa aku tidak memperhatikan saat dia bercerita? Apakah ketika dia bercerita kepada perempuan lain, makhluk hawa itu akan menatap matanya dan mendengarkan dengan seksama dengan tatapan kagum? Apakah karena itu, dia mengabaikan status pernikahannya?

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now