Untitled Part 43

135 40 11
                                    

"Lia! Ada yang cari kamu di depan. Lia!" panggil si mbok. Aku mendengar samar langkah kaki tuanya sebelum dia menemukanku di halaman belakang. "Li, ada laki-laki cari kamu di depan. Sepertinya, Mbok pernah lihat dia dulu."

Aku mengernyit. "Dulu?" Berarti bukan Baskara yang dimaksud si Mbok. 

Kutinggalkan bakul jemuran dan segera beranjak. Sementara, Mbok Ratih tergopoh-gopoh mengekor langkahku menuju teras depan. Sosok tinggi dalam kemeja cokelat bermotif membuatku bertanya-tanya, apa yang membawa Om Andreas kemari.

"Ngapain ngumpet di sini toh Li? Orangnya 'dah tunggu lama," bisik Mbok Ratih dari punggungku.

"Sssttt!" Kutempelkan telunjuk ke bibir, memberi isyarat agar si Mbok tidak bicara terlalu keras dan memancing perhatian tamuku. Perempuan itu mengangguk pelan, lalu undur diri dan menghilang ke bagian belakang rumah.

Kuputuskan untuk sejenak mengamati Om Andreas, entah mengapa ada perasaan hangat ketika melihat lelaki itu. Meskipun berada di bawah naungan atap rumah, sinar mentari pagi jelas menampilkan ekspresi muram pada wajah tampan di paruh usianya.

Lelaki itu bergerak perlahan ke samping rumah yang berlawanan dari posisiku sambil jemarinya menelusuri pagar kayu. Sebentar-sebentar, dia membungkuk atau berjongkok, seolah mencari sesuatu, lalu berdiri lagi dan kembali mengulangnya. 

Hingga satu saat Om Andreas berjongkok cukup lama, pandangannya terpaku pada sesuatu di pagar kayu. Rasa penasaran mendorongku keluar dari persembunyian, menaiki tangga ke teras, dan menyapanya, "Selamat pagi, Om."

Lelaki itu terlonjak dari tempatnya dan hampir saja hilang keseimbangan. Untung tangannya cekatan mencengkeram pagar, sementara tangan lain menangkup di sisi dadanya. "Oh, Lia. Ngagetin saja."

Aku tersenyum. "Aku enggak sangka Om mampir kemari. Lagi lihat apa?"

Dia terkekeh, sinar matanya berkelip memikat ketika tertawa. "Lagi nostalgia. Coretan Om ternyata masih ada di sini." 

Jemarinya menunjuk ke sesuatu yang tidak terlalu nyata dari tempatku berdiri saat ini, jadi aku mendekat dan mengikutinya berjongkok. Goresan kusam dalam pulpen merah masih terbaca: Andreas love Ayu. 

Dia tersenyum lebar saat aku menatapnya. "Ayu enggak mau ketemu sama Om kecuali teman-teman lain sudah datang. Sementara Om sengaja datang lebih pagi supaya bisa ngobrol sama dia. Jadilah Om sering disuruh nunggu lama di teras. Om bikin ini dengan harapan Ayu lihat dan tahu perasaan Om, tapi--"

"Ibu memang keterlaluan," potongku yang dijawabnya dengan kekehan. "Silakan duduk, Om. Mau minum apa? Kopi atau teh?" 

"Jangan repot-repot, kita ke Kafe Bujang saja. Om belum pernah ke sana. Kalau enggak salah itu kafenya Baskara 'kan?"

Kugigit bibir. Setelah berhari-hari menghindari topik mengenai Baskara, Om Andreas tiba-tiba mengajakku ke sana. Jelas aku tidak mampu menolak, jadi kuanggukkan kepala. "I-iya. Kalau begitu, tunggu sebentar, ya. Aku berberes dulu."

Denting bel di atas pintu menyambut ketika daunnya mengayun terbuka. Dengung suara dalam kafe menandai suasana yang ramai seperti kemarin. Semerbak harum bubuk Arabika menguar di udara, harum yang rasanya sudah lama kurindukan. Sudah berapa lama aku tidak kemari? 

"Selamat siang, Bas," sapa Om Andreas. 

Dari balik punggung sahabat ibu, aku melihat Baskara menaikkan pandangannya dari kasir. Lelaki itu menepukkan tangan ke celemek dan bergerak keluar dari counter untuk menyambut siapa yang datang. "Om Andreas. Gila! Jauh banget jalan-jalannya. Sama sia--" Kalimat Baskara menggantung ketika lelaki paruh baya di depanku bergeser dan pandangan kami bertemu.

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now