ALL OF THE STARS - Ed Sheeran

441 63 24
                                    

It's just another night
And I'm staring at the moon
I saw a shooting star
And thought of you
I sang a lullaby
By the waterside and knew
If you were here,
I'd sing to you


You're on the other side
As the skyline splits in two
I'm miles away from seeing you
I can see the stars
From America
I wonder, do you see them, too?


***


Berkendara menembus kemacetan lalu lintas Jakarta, akhirnya Pak Tono berhasil mengantarku sampai Stasiun Senen tepat waktu. Tanpa banyak bicara, tangannya yang cekatan membantu mengantarkan koper sejauh yang diperbolehkan petugas kereta api.

Lelaki itu masih berdiri di sana, pandangannya mengikutiku dari balik pagar setinggi dada. Seperti biasa, dia menunggu jika ada lagi yang kubutuhkan atau mungkin ada barang yang tertinggal. Namun, kurasa tidak ada. Kalau pun ada, aku tidak akan meminta dia mengambilnya. Saat ini, yang kuinginkan adalah segera pergi, sebelum keberanianku memudar.

Aku melambaikan tangan, membuat gestur agar dia segera pulang. Alih-alih pergi, lelaki kurus itu menegakkan tubuh dan segera membetulkan letak kacamata agar dapat melihatku jelas. Sekali lagi, kulambaikan tangan. Raut wajah itu terlihat bimbang sesaat, sebelum akhirnya mengangguk dan pergi.

Baru setelah itu, kuteruskan langkah masuk dalam lorong bertangga yang mengarah turun ke peron. Bukan karena murah, kurasa aku tipe manusia sentimental, jenis orang yang senang mengulang-ulang kenangan. Ini bukanlah sebuah pujian, orang-orang sepertiku cenderung terpenjara oleh masa lalu dan sulit move-on.

Alih-alih menggunakan pesawat untuk pulang ke Yogyakarta—yang hanya memakan satu jam lebih sedikit—aku memilih kembali ke sana dengan cara yang sama dengan saat menginjakkan kaki ke Jakarta, yaitu dengan kereta api kelas ekonomi. Itu akan memakan waktu lebih kurang delapan jam, tapi aku tidak peduli.

Angkutan massa yang mengular itu sudah menunggu di peron. Aku duduk di salah satu kursi yang merapat ke jendela dan memperhatikan sekeliling. Teringat beberapa tahun silam ketika interior kereta api kelas ekonomi begitu kumuh. Pedagang asongan berkeliaran menjajakan makanan sebelum kereta berangkat dan saat kereta berhenti sementara di peron lain sepanjang jalan. Jadwal kereta yang sering ngaret dari seharusnya acap kali membuat penumpang gelisah.

Kupikir, semua akan sama seperti dulu, ternyata aku salah. Gerbong yang kutempati tampak bersih, tidak ada sampah bungkus Chiki atau Chitato, bahkan tidak ada debu rokok di lantai. 

Sesuai waktu keberangkatan yang tercetak pada tiket, suara peluit bertiup nyaring, menyusul kemudian dengus panjang kereta api. Tidak menunggu lama hingga pemandangan di depanku berjalan seirama desis si ular besi. Goyangan dan hentakan gerbong sepanjang jalan mengembalikan kenangan ke masa lalu.

Baru sekarang terpikir olehku, dari sekian banyak negara dan kota yang bisa kukunjungi, mengapa aku harus memilih Yogyakarta?

Jika menilik sejarah, kepergian dari kota kelahiranku dulu adalah misi melarikan diri dari Ibu. Setelah pergi dari Yogyakarta lepas menyandang gelar Sarjana Seni dari salah satu perguruan tinggi di sana, aku belum pernah pulang lagi.

Sekarang pun, aku pulang bukan untuk menemuinya. Ibu sudah pindah ke luar negeri bersama Mas Wijaya empat tahun lalu. Ayah? Aku menghela napas, tidak dalam memori ada lelaki yang kupanggil Ayah. Satu-satunya lelaki dalam keluarga adalah Mas Wijaya, kakak yang usianya selisih tiga tahun dariku. Ibuku adalah single parents.

Mungkin karena itu, Ibu mendidik kami keras. Aku tidak tahu kapan tepatnya hubunganku dan Ibu tidak akur. Selalu saja ada hal dariku yang membuat Ibu tidak senang, seolah aku bukan anak kandungnya.

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now