TRUE COLORS - JT & Anna Kendrick

203 36 0
                                    

You with the sad eyes
Don't be discouraged
Oh I realize
It's hard to take courage
In a world full of people
You can lose sight of it all
And the darkness inside you
Can make you feel so small

But I see your true colors
Shining through
I see your true colors
And that's why I love you


*****


Hening. Tidak ada dari kami yang bersuara. Waktu seolah berhenti di tempat.

Rasa sesak, yang biasa mengisi ruang di dada, seketika lenyap. Kukutuk air mata yang sesekali turun tanpa bisa dibendung. Aku tidak menangis, hanya merasa ... hampa. Ataukah, itu sebuah kelegaan, aku tidak tahu. Sulit bagiku membedakannya saat ini.

Sekarang, Baskara tahu mengenai cacat fisikku. Cacat yang tidak diketahui siapa pun, kecuali John dan Mbok Ratih.

Kutatap lelaki yang duduk di depanku. Baskara, yang biasanya punya banyak topik untuk dilontarkan, kini diam seribu bahasa. Sesekali dia menarik napas panjang lalu mengembuskan, pandangannya menatap ke arah yang tidak tentu seolah mencari kalimat untuk bicara.

Setelah beberapa menit yang panjang, akhirnya dia kembali bersuara, "Aku enggak tahu harus ngerespons apa, Em." Telapaknya yang besar yang mengamit jemariku lembut untuk menunjukkan rasa pedulinya. "Apa kamu sudah minta second opinion dari dokter lain? Siapa tahu diagnosa awal itu salah."

"Sudah." Kuusir cepat tetes air mata yang turun sebelum kembali bicara, "Aku sulit punya anak, kata dokter. Aku enggak habis pikir, kenapa dokter-dokter itu harus memperhalus kata-katanya? Kenapa enggak bilang saja langsung kalau aku mandul?"

"Itu artinya kamu masih ada kesempatan, Em—"

Aku menggeleng. "Percuma berbohong, Bas. Umurku masih muda, tapi segala terapi dan proses inseminasi yang diusahakan enggak berhasil, apa menurutmu itu masih sulit-punya-anak?" tanyaku pada Baskara dengan nada tinggi dan tatapan menusuk. Sekarang, aku merasa marah. Bukan pada Baskara, tapi pada dokter-dokter yang pernah memeriksaku.

Tarikan napas lelaki itu kembali terdengar dalam kesunyian ruang, sementara jarinya yang tadi berhenti mengusap punggung tanganku mulai bergerak lagi, seolah dengan melakukan itu dia bisa meredakan emosiku saat ini.

"Em ... mandul enggak berarti it's the end of the world. Ngerti 'kan maksudku?"

Aku menggertakkan rahang dan memilih untuk tidak menjawabnya. Tentu saja aku tahu itu bukan akhir dunia, itu hanya akhir duniaku! Orang seperti Baskara tidak pernah tahu apa rasanya menjadi sebatang kara.

"Bukannya aku mau bilang itu perkara kecil. Aku tahu, mandul itu momok dalam sebuah rumah tangga," lanjutnya perlahan. "Aku punya beberapa teman yang istri atau suaminya mandul, tapi pernikahan mereka so far baik-baik saja. Jadi aku yakin, untuk orang-orang yang saling mencintai, itu bukan masalah besar."

Bibir itu lalu kembali menyunggingkan senyum ketika aku menoleh menghadapnya. "John pasti cinta banget sama kamu. Jadi, jangan sedih, please."

Oh, ya, Tuhan ... sekarang dia menyinggung tentang John. Tanganku bergerak menutup wajah, perasaanku teraduk-aduk oleh kalimatnya barusan. Perkara John mencintaiku sebanyak apa, pun aku tidak tahu karena sampai sekarang John masih tidak memihakku untuk masalah pekerjaan dan anak.

"Dugaanku kemarin benar, 'kan? Kamu punya masalah. Cuma ini saja, atau ada hal lain yang pengin kamu ceritain? Asal kamu tahu, aku pendengar yang baik."

Baskara menyeringai waktu aku mengintipnya dari sela jari yang menutup wajah. Ingin rasanya melempar bantal di sampingku ke wajahnya untuk membungkam semringah yang merekah.

KOMPILASI LAGU SEMUSIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang