IT'S ONLY ME - Kaleb J

395 36 2
                                    

Sekali pun, kau tak pernah perdulikan rasa ku
Ku takkan acuhkan dirimu
Tapi kuharap, Suatu saat nanti kau tahu
Sendiri ku berharap
Memberi kasih walau tak kembali

I maybe not yours and you're not mine
But I'll be there for you when you need me
It is only me
Believe me girl, it's only me
Yeah, it's only me!

*****

Jalanan mulai lengang saat mobil kami berkelok-kelok menuju Gunung Gambar, beberapa motor dan angkutan kota mendominasi kendaraan di jalan. Sementara di langit, matahari—meskipun tidak lagi tinggi—tampak masih enggan untuk lengser dari kedudukannya.

"Kafe Baskara ... apa benar-benar ramai?" tanya Ayah Baskara dari kursi pengemudi. Nada suaranya mengandung rasa tidak percaya ketimbang rasa ingin tahu.

"Untuk ukuran kafe di atas gunung, ya," jawabku hati-hati. "Kenapa, Om?"

Lelaki paruh baya itu mengerucutkan bibir, menimbang jawabannya. "Sebenarnya, Om keberatan Baskara pindah ke Gunung Gambar. Kalau sebentar, it's okay, tapi ini sudah hampir setahun dan kelihatannya dia betah."

Hening sesaat sebelum lelaki itu melanjutkan, "Om ngerti kalau dia tengah melalui masa-masa buruk, tapi ... tinggal di gunung bukan solusinya. Itu seperti tindakan pengecut. Seperti, melarikan diri dari kenyataan. Kamu ngerti, 'kan?"

Kuanggukkan kepala, nasihat itu terdengar seolah ditujukan untukku ketimbang anaknya. "Sebenarnya, apa yang terjadi sama Baskara, Om?"

"Dia enggak cerita sama kamu?" Ayah Baskara menoleh, ekspresi heran terlukis di wajah tuanya. Aku menggeleng. "Ck! Kalau begitu, biar Baskara saja yang menjelaskan. Repot nanti kalau dia tahu papanya yang cerita."

Embusan napas berat terdengar dari kursi pengemudi sebelum Ayah Baskara kembali bercerita, "Om pengin dia secepatnya pulang, bikin usaha yang riil. Terserah, mau jadi arsitek, desainer interior, atau buka bengkel furnitur, enggak apa-apa. Jadi guru atau dosen pun enggak masalah. Om mau dia seperti kebanyakan laki-laki—bekerja, pacaran, menikah, berkeluarga.

"Kamu tahu 'kan anak Om satu itu ganteng dan pintar. Tinggal lama-lama di gunung, Om khawatir dia kepincut sama siluman." Aku tertawa mendengar candaannya, sementara lelaki itu terkekeh senang. "Li, Om curhat begini, Om harap kamu bisa bantu menasehati supaya Baskara mau pindah ke kota lagi."

Kutundukkan kepala, tidak tahu harus merespons apa terhadap permintaan Ayah Baskara. Pertengkaran kemarin menandakan tidak ada lagi yang patut dibicarakan antara aku dan anaknya.

"Rumahku ada di persimpangan depan sana, Om." Aku menggerakkan telunjukku ke arah pohon besar yang menaungi mulut gang menuju rumah Eyang.

Mercedez itu segera melambat mendengar keteranganku, sementara pengemudinya tampak menoleh ke kiri-kanan seolah mencari sesuatu. "Kafe Baskara di mana?"

"Oh, itu, Om. Rumah warna kuning."

"Ramai juga," gumamnya, ketika mobil yang kami tumpangi pelan-pelan melewati Kopi Bujang. Aku terkejut ketika Ayah Baskara tiba-tiba menarik rem tangan dan mematikan mesin. "Ayo, kita mampir!"

Belum sempat bereaksi, sosok paruh baya itu sudah mendahuluiku keluar mobil. Lekas kusambar tas dan menyusulnya ke belakang mobil menuju kafe kuning.

"Om!" panggilku. Tubuhnya yang besar berbalik dan menunggu. "Rumah Eyang sudah dekat dari sini, aku ijin pulang dulu. Terima ka—"

Ayah Baskara menggeleng. "Kalau kamu enggak masuk, Baskara pasti tanya ngapain Om kemari. Ayolah, ikut sebentar saja."

"A-aku enggak bisa," gagapku sambil sesekali melirik kaca besar di belakangnya dan berharap baik Baskara atau Jono tidak melihat kami. "Aku janji makan malam sama si Mbok."

KOMPILASI LAGU SEMUSIMWhere stories live. Discover now