1.0 | Wound

7.4K 961 116
                                    

Ruang makan berisi meja panjang dengan tujuh kursi itu tengah diisi oleh delapan orang anggota keluarga. Tujuh orang dari mereka duduk, sementara yang satunya hanya berdiri diam di sudut.

Tak ada cengkrama atau suara apapun yang keluar dari mulut orang-orang itu, yang mengisi di sana hanyalah bunyi dentingan sendok dan garpu yang saling bersaut.

Di salah satu kursi, duduk pria berkemeja putih yang baru saja selesai menyesap kopi hitamnya. Pria itu tengah menatap tajam anak laki-laki berseragam SMA yang duduk di seberang.

"Hyunsuk, katakan pada Appa bahwa kau akan benar-benar mengambil kedokteran untuk ujian tulis nanti," ucap pria itu.

Anak laki-laki yang masih sibuk makan itu mulai menjawab sang ayah dengan malas. "Minta saja pada Jihoon."

Jihoon berdecak. Ia meletakkan gelas di tangannya dengan kasar.

Anak yang namanya baru saja disebut dengan sembarangan itu pun menatap sinis pemuda di hadapannya. Ia kini berusaha menahan tangannya untuk tak melemparkan gelas ke kepala orang yang usianya hanya terpaut satu tahun dengannya itu.

"Hyunsuk!" Sang kepala keluarga membentak.

"Oh, atau Yedam, si jenius itu akan selalu memenuhi keinginan Appa, tenang saja."

Mendengar jawaban tak acuh sang anak, ia mulai naik darah. "Kau anak tertua! Aku harus memastikanmu memilih karir yang benar! Jangan bilang kau masih memikirkan tawaran casting dari agensi itu lagi?"

"Bisakah Appa berhenti membahas itu barang sehari? Aku baru kelas sebelas, ujian tulisku masih satu tahun lagi."

"Nilaimu terus menurun! Bagaimana kau bisa masuk kedokteran dengan nilai begitu?! Tak bisakah kau mencontoh Yedam?!"

Hyunsuk membanting piringnya.

Semua orang yang berada di ruang makan itu seketika terlonjak, tak terkecuali dengan anak bertubuh kurus yang sedari tadi hanya berdiri dan menunduk di sudut ruangan tersebut.

"Aku kenyang," ucap Hyunsuk. Anak itu lantas berdiri dan pergi dari sana begitu saja.

"Jihoon-ah." Seorang wanita yang tengah memegangi tangan anak kecil di sampingnya mulai bersuara. "Kau bawa Junghwan dulu."

Jihoon mengangguk pada wanita yang tak lain adalah ibunya itu. Adik kecilnya terlihat ketakutan, ia pun bergegas membawa anak lima tahun itu pergi dari sana.

Kini, wanita dengan dress hijau itu mulai mengalihkan tatapannya pada anak laki-laki yang berdiri di sudut ruangan.

"Asahi."

Anak berpipi tirus yang mengenakan seragam SMP lusuh itu lantas mendongak dan membalas tatapan sang wanita.

"Kenapa kau masih diam di situ? Apa yang kau tunggu?"

"N-nde," jawabnya pelan. Anak bernama Asahi itu pun lekas mengambil serbet dari dapur dan mulai melakukan tugasnya. Dengan patuh, Asahi memunguti bekas nasi dan pecahan-pecahan piring di bawah sana.

"Eomma, bisakah ini dibuat bekal saja?"

Sang wanita kini menoleh pada anak berkaca mata di sisi kirinya. "Ya, Yedam. Kau siap-siap berangkat saja," ucapnya.

Wanita itu pun kini memandang anak yang berada di sebelah Yedam. "Jeongwoo! Berhenti bermain-main dengan makanan dan pakai dasimu dengan benar! Siap-siaplah berangkat dengan Yedam!"

Jeongwoo menatap ibunya kesal. Anak berkulit sawo matang itu mulai menggetuk ujung sendok yang dipegangnya dengan kasar. "Aku belum selesai makan."

"Akan Eomma buatkan bekal, lanjutkan saja di sekolah!"

"Tapi--" ucapannya terpotong, Yedam yang berada di sebelah Jeongwoo itu membekap paksa mulut sang adik.

"Tidak usah cari mati," bisik Yedam. Anak yang lebih tua itu pun segera menarik Jeongwoo dari sana.

Belum sempat mereka benar-benar keluar, Jeongwoo tiba-tiba menendang punggung Asahi yang sedang berjongkok membersihkan beling. Anak dengan punggung sempit itu pun hilang keseimbangan dan jatuh ke depan, ia refleks menahan badan dengan lengannya sendiri. Kulitnya pun kini tertancap serpihan-serpihan beling yang belum diambil.

Asahi menarik napasnya dalam, berusaha sebisa mungkin untuk tak meringis. Tangannya sangat sakit, tapi ia tak bisa melakukan apa-apa. Ia sudah pasrah dengan perlakuan saudaranya.

Anak yang satu itu memang selalu begitu, Jeongwoo seakan tidak peduli jika Asahi benar-benar bisa mengalami luka serius karenanya, pengalamannya empat tahun lalu saat mencelakai Asahi hingga tangannya patah juga sepertinya belum cukup.

"Seunghyun, berapa kali kubilang untuk berhenti seperti itu pada putramu? Setidaknya jangan di depan anak-anakku, apa kau tidak memikirkan Junghwan?" Wanita yang masih duduk itu mulai protes pada suaminya.

"Terserah, aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu."

Seunghyun berdiri dari duduknya, ia pun mulai beranjak meninggalkan sang istri. Namun sebelum benar-benar pergi, Seunghyun dengan kasar menarik rambut Asahi yang tengah memunguti nasi di bawah. Ia pun mulai kembali bicara.

"Jangan pulang terlambat lagi atau aku akan membuatmu menyesali itu," ucapnya.

"N-nde, Appa," jawab sang anak pelan sambil berusaha menahan sakit. Pria itu pun melepaskan cengkramannya dengan kasar dari kepala sang anak dan mulai berlalu pergi.

***

- Appa: Ayah
- Eomma: Ibu
- Nde/Ne: Baik/iya

Sloth Bear | AsahiWhere stories live. Discover now