24.0 | Abandoned

2.5K 489 174
                                    

Asahi tak tahu lagi bagaimana ia harus hidup ke depannya, atau mungkin ia harus merelakan hidupnya saja? Kilatan tajam dari netra Hyunsuk tempo hari dengan bentakan-bentakan kasarnya masih terngiang dalam pikiran Asahi, belum lagi saat ia menawarkan kematiannya sendiri pada kakak tirinya itu yang langsung di-iyakan tanpa ragu.

Apa Hyunsuk benar-benar menyalahkan Asahi juga karena kematian ibunya? Jujur, itu tak adil. Ia tak tahu apa-apa tentang dosa Hana, haruskah ia juga ikut-ikutan membawa dosa itu dalam darahnya? Ia tak pernah menghendaki untuk lahir dari rahim wanita seperti ibunya, ibu yang bahkan telah membuangnya begitu saja saat dirasa sudah tak lagi berguna dan justru memilih membesarkan putra orang lain. Apa Hyunsuk--orang yang sejak kecil selalu berpihak padanya dan paling berani menolongnya dari sang ayah itu tetap akan mengabaikan fakta tadi?

Bukan, Asahi bukannya tak punya hati dan tak ingin disalahkan, ia juga selalu merasa bersalah dan benar-benar ikut menyesal dengan yang terjadi pada mendiang ibu Hyunsuk, meski ia juga tak tahu pasti seperti apa cerita lengkapnya. Tapi Asahi juga lelah menjadi pelampiasan semua orang hanya karena berbagi darah yang sama dengan sang ibu kandung.

Kehadirannya sebagai anak laki-laki yang tengah menginjak empat belas tahun sering kali menjadi penyebab mencuatnya amarah orang lain. Hanya karena kehadirannya. Saat ia hanya diam dan bernapas pun seseorang bisa naik darah dan ingin menghajarnya.

Seperti anak yang tengah duduk bersebrangan dengannya itu. Mata tajamnya terus menyoroti Asahi saat ia mengoleskan selai kacang pada roti di tangannya.

Padahal beberapa hari yang lalu Asahi benar-benar berlagak tak peduli dan mulai berani melawan anak itu, tapi entah kenapa kali ini ia mulai takut lagi, mengingat anak itu masih lebih disayang sang ayah--orang yang telah mendorongnya jatuh dari tangga tempo hari. Asahi takut macam-macam dengannya lagi atau ia akan kembali diadukan yang tidak-tidak.

Merasa terus diperhatikan dengan tajam membuat Asahi tak nyaman dan ingin langsung menelan roti ditangannya bulat-bulat.

Ngomong-ngomong, di meja makan ini hanya ada empat manusia. Dirinya, Yedam, Jihoon yang tengah duduk di sampingnya, dan Jeongwoo--orang yang netranya sejak tadi berkilat menatap dirinya.

Ayahnya telah berangkat ke luar kota sejak kemarin, Sandara tengah di kamarnya menjaga Junghwan yang mendadak demam tinggi, dan Hyunsuk masih belum turun untuk sarapan meski ia telah berulangkali mengetuk pintu kamar itu.

Jihoon yang melihat Asahi hampir nekat membuka paksa knop pintu kamar Hyunsuk langsung buru-buru menyeretnya dari sana dan menceramahi Asahi panjang lebar, "Tak usah cari mati" katanya.

Lucu kalau dipikir-pikir, dulu Jihoonlah orang yang selalu Asahi ingin hindari karena tak ingin cari mati. Sekarang orang itu justru bertingkah seakan ia pelindung nyawanya nomor 1.

Tapi jujur saja, sejak dulu Asahi selalu mengagumi bagaimana Jihoon selalu protektif dan berusaha menjaga saudara-saudaranya. Jihoon selalu memberikan perhatian dan menjaga ketiga adiknya dengan begitu hangat, tanpa pernah terlihat iri meski tahu ayahnya tak memberikan kasih sayang yang sama padanya seperti kepada anak-anak kandungnya--kecuali Asahi tentu saja.

Dulu Asahi pernah iseng-iseng berdoa pada Tuhan, meminta agar Jihoon suatu saat mau menerimanya sebagai adik dan memberikannya perhatian sebesar itu juga, maklum, Asahi haus kasih sayang.

Sekarang saat Tuhan pelan-pelan mengabulkan permintaan itu, Asahi justru merasa cemas karena tahu bahwa orang lain akan tidak menyukainya.

"Bagaimana bahumu? Sudah membaik?" tanya orang di samping Asahi yang setelahnya menyeruput segelas susu putih.

Asahi membalas pertanyaan itu dengan mengangguk kecil dan mulai menggigit rotinya.

"Apa malam tadi kau masih mimpi buruk?"

Sloth Bear | AsahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang