33.0 | Worthless

2.4K 423 78
                                    

Yedam memandangi Sungai Han yang memantulkan cahaya bulan dari jembatan tempatnya berdiri. Matanya tak berpaling dari sana sejak bermenit-menit lalu, tubuhnya yang tak bergerak itu juga tak terusik meski orang-orang terus berlalu lalang di belakangnya.

Ini sudah pukul sepuluh, tapi tempat itu masih saja ramai, baik oleh orang dewasa maupun anak muda. Sesekali Yedam juga dapat mendengar suara tawa anak-anak dari taman yang berada di sisi jembatan itu.

Jujur, meski tubuhnya saat ini menggigil karena kemeja tipisnya tak cukup menahan angin malam, entah kenapa suara tawa anak-anak itu memunculkan sedikit hangat dalam hatinya. Yedam jadi berusaha mengingat-ingat kapan terakhir kali ia dapat tertawa lepas dan sebahagia itu.

Ia kini mulai menatap langit hitam di atasnya sambil berusaha mengingat, sesekali Yedam juga memejamkan mata untuk mengingatnya lebih keras. Tapi sayang, tetap saja tidak ada satu memori pun yang muncul.

Anak laki-laki itu lantas kembali menatap Sungai Han dan menarik napas dengan dalam, menyerah dalam usahanya memanggil memori-memori tadi.

Ah, itu mungkin karena dirinya memang tak pernah betul-betul merasakan perasaan bahagia dengan utuh selama hidup.

Yedam tak tahu perasaan bahagia yang sebetulnya itu seperti apa.

Kasih sayang yang dilimpahkan kedua orang tuanya maupun prestasi-prestasi yang didapat selama ini juga tak membantunya merasakan perasaan itu. Sekalipun ada, perasaannya hanya semu semata.

Yedam menganggap bahwa menjadi pintar dan mendapatkan prestasi adalah suatu kewajiban, itu bukan sesuatu yang istimewa atau dapat membuatnya senang. Sedangkan kasih sayang yang ia terima adalah bayaran yang harus orang tuanya berikan. Prestasi dan kasih sayang hanyalah hubungan timbal balik yang selama ini ia dan orang tuanya lakukan.

Sekarang, setelah semua yang terjadi, Yedam hanya menganggap dirinya sebagai barang yang sudah tak berguna. Ia telah rusak dan tak lagi berguna, orang tuanya pantas mengasingkannya seperti sekarang. Begitu juga teman-temannya.

Dan bicara tentang teman-temannya itu, seharusnya ia juga menyadari bahwa tak ada dari mereka yang benar-benar tulus. Ah, tidak, itu salahnya. Yedam juga membuat Minju menderita, ia tahu itu salahnya. Sebab bukan hanya Minju yang menderita karena dirinya, tapi saudara-saudaranya juga.

Yedam telah amat tahu bahwa selain karena ia adalah anak ibunya, Hyunsuk juga membencinya karena Yedam selalu dijadikan patokan sang ayah dalam segala hal. Ayahnya selalu menekan Hyunsuk dan menjadikan prestasinya sebagai alat pembanding.

Lalu Jeongwoo, Yedam juga merasa bersalah karena selama ini ia selalu di-anak-emaskan hingga membuat adiknya yang satu itu iri. Orang tuanya lebih memperhatikan Yedam dibanding Jeongwoo karena prestasi-prestasinya.

Termasuk juga Jihoon.

Yedam tahu, bahwa kakak yang berbeda ayah dengannya itu selama ini juga mengalami banyak kesulitan karena dirinya. Sejak kecil Jihoon terlalu banyak mengalah karena ayah dan ibunya selalu memprioritaskan Yedam. Jihoon bahkan jarang memperhatikan kebutuhannya sendiri karena orang tuanya juga menuntut sang kakak untuk turut memperhatikan Yedam.

Hidupnya sangat menyusahkan untuk banyak orang, bukan?

Yedam mengembuskan napas dan mulai mengambil ponsel yang telah berkali-kali bergetar di balik saku celana. Ia tahu siapa yang menghubunginya itu sedari tadi, tapi Yedam tak juga mengangkat.

Namun kini, ia memutuskan untuk mengangkat panggilan itu.

Mungkin untuk yang terakhir kalinya.

"KAU DIMANA?!"

Suara yang lebih terdengar seperti bentakan dari ayahnya itu seketika menusuk pendengaran Yedam.

"Kau dimana, Yedam?!"

Sloth Bear | AsahiWhere stories live. Discover now