46.0 | Anger

1.4K 232 49
                                    

Yuri mendorong kursi roda Asahi memasuki ruang upacara pemakaman. Di sana telah ada Junmyeon, suami Hana, yang berdiri menunggu para pelayat.

"Asahi ...," ucap Junmyeon lirih. Pria itu memandang nanar anak laki-laki yang tak lain adalah anak mendiang sang istri.

Asahi tak menatap balik pria itu. Tatapannya terus terpaku pada foto ibunya yang berada di tengah-tengah altar.

Sang bibi pun melanjutkan mendorong kursi rodanya hingga mendekati altar tersebut.

"Beri penghormatan terakhir untuk ibumu," ucap Yuri sambil berbisik. Yuri lantas berdiri di samping keponakannya setelah mengatakan itu, ia pun mulai memberikan penghormatan terakhirnya.

Sementara itu, Asahi masih bergeming, tatapannya masih lurus terpaku memandang foto mendiang sang ibu.

Pikirannya dipenuhi oleh kenangan-kenangan pahit. Memori-memori menyedihkan terus berputar di kepalanya.

Wanita itu menelantarkannya, wanita itu sengaja menyuruh sang ayah untuk membunuhnya. Wanita itu tak pernah menganggapnya sebagai seorang anak.

Ia mengingat bagaimana tangan wanita itu menamparnya, ia mengingat bagaimana wanita itu menjambaknya, ia juga mengingat bagaimana wanita itu membenturkan kakinya.

Ia mengingat setiap kata-kata jahat yang dilontarkan wanita itu. Ia mengingat saat dirinya dikatai sampah, ia juga mengingat saat dirinya dikatai tak berguna. Ia mengingat itu semua.

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Asahi.

Asahi bersusah payah mengingat hal bahagia yang pernah dirasakannya bersama sang ibu selama hidup. Meski sedikit, meski hanya satu, Asahi ingin mengingatnya. Namun, sekeras apapun ia berusaha mengingat, tak ada yang muncul di kepalanya satu pun.

Hatinya kembali terasa sakit sekarang. Ia sadar ia tak memiliki satu pun kenangan baik bersama ibunya. Ia kembali sadar bahwa selama ini ia tak pernah benar-benar memiliki ibu. Ia sudah merasakan menjadi piatu bahkan sebelum ibunya mati.

Ibunya membuang dirinya. Ibunya tak peduli padanya. Ibunya hanya menganggapnya sebagai sampah.

Ia membenci itu. Ia sangat membencinya.

"Semoga Eomma masuk neraka."

Junmyeon maupun Yuri seketika menatap Asahi.

Mata anak itu memerah, air mata berjatuhan di pipinya, bibirnya yang bergetar mulai melontarkan berbagai pertanyaan.

"Kenapa Eomma mati lebih dulu daripada aku?" Asahi mengepalkan tangannya, ponsel yang tengah ia pegang pun ikut ia remat. "Eomma belum meminta maaf padaku. Kenapa Eomma mati begitu saja? Apa Eomma sama-sekali tak menyesali semuanya?"

Air mata Asahi terus berlinang. Dadanya terasa sangat sesak.

"Apa Eomma benar-benar tak pernah sedikit pun menyayangiku? Apa benar aku hanya sampah bagi Eomma?"

Yuri mencoba menggenggam tangan Asahi, berusaha untuk menenangkannya, tapi Asahi menepisnya. Tangan anak itu semakin mengepal keras hingga urat-uratnya mencuat. Wajahnya kini memerah, air matanya terus berjatuhan.

"Aku terus menyalahkan diriku sendiri atas semuanya. Aku selalu merasa bersalah karena perbuatan Eomma. Aku merasa aku tak pantas disayang orang lain. Aku merasa aku membawa sial untuk orang lain. Aku merasa hidupku benar-benar tak berharga. Aku merasa tak diinginkan siapa-siapa. Aku merasa aku tak berguna. Aku benar-benar merasa seperti sebuah sampah. Eomma yang membuatku merasa seperti itu."

Asahi berusaha menahan isakannya dan kembali bicara, "Karena Eomma aku selalu takut ditinggalkan orang lain. Aku benci ditinggalkan orang lain. Tapi karena Eomma juga, aku harus membuat orang yang kusayang pergi meninggalkanku. Aku sangat menderita, Eomma," lirih Asahi. "Kenapa Eomma membuatku hidup seperti ini?! Aku salah apa, Eomma? Aku salah apa?!"

Sloth Bear | AsahiWhere stories live. Discover now