16.0 | Memories

3K 572 151
                                    

"Berdiri di sana!"

Tubuh anak kecil yang didorong kasar itu terhuyung dan hampir menghantam cermin besar di depannya. Anak itu dipaksa melihat pantulan dirinya di sana.

Wajah pucatnya berkeringat, tatapannya tak bernyawa, dan tangannya penuh dengan memar. Tubuhnya yang gemetar itu juga memaksakan kaki-kaki kurusnya untuk berdiri tegak.

"Katakan dengan keras seperti biasa! Jangan berani-berani berhenti sebelum kusuruh!"

Perintah itu menggema dari pria tinggi di samping sang anak. Anak yang masih berumur lima tahun itu pun tak memiliki pilihan selain patuh dan mulai melakukan perintahnya.

"Aku anak tidak berguna, aku anak nakal, aku menyusahkan, aku sampah, aku pantas dipukul." Suara serak yang terdengar gemetar itu terus merapalkan kalimat-kalimat yang sama berulang kali.

Sekuat tenaga tubuh kecil itu menahan dirinya yang telah sakit di sana sini agar tak tumbang sembari terus merapalkan kata-kata buruk tersebut.

Air mata kini mulai mengalir ke pipinya tanpa permisi. Ia membenci itu. Pria yang disebutnya ayah yang sedari tadi memerintahnya juga mulai melihat.

"Aku tidak menyuruhmu menangis, brengsek!" Ayahnya mulai kembali memukul kepala sang anak dengan tangannya.

Tubuh anak itu kian terguncang. Dengan sisa-sisa tenaga, sang anak menguatkan dirinya untuk tetap berdiri atau ayahnya akan semakin memberikan pukulan.

"Aku anak tidak berguna, aku anak nakal, aku menyusahkan, aku s-sampah...." Anak itu mulai memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. "Aku pantas dip-pukul."

"Keraskan!"

Pandangan anak itu mulai menghitam. Ia menguatkan dirinya untuk tetap sadar. "A-aku.."

BRAKK

Asahi terbangun dari tidurnya.

Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat, air mata terus berjatuhan di pipinya, ia tak bisa mengontrolnya.

Tangannya kini perlahan menyentuh keningnya yang tertutup surai, ia mulai meraba di salah satu bagian. Asahi menarik napasnya dalam, sesuatu seperti garis yang tak rata teraba oleh tangannya. Itu adalah bekas luka jahitan.

Sakit itu. Ia masih merasakannya. Luka bekas jahitan itu juga selalu mengingatkan akan seberapa tidak berharga dirinya dan betapa keberadaannya tak diinginkan siapapun.

Asahi mendapat jahitan di dahinya setelah kepalanya dihantamkan ke cermin besar oleh sang ayah hingga cermin itu pecah, dahinya mengeluarkan banyak darah saat itu. Ia yang masih sangat kecil juga seketika tak sadarkan diri setelahnya.

Memori itu terlalu menyakitkan untuknya. Ia membenci dirinya setiap kali mengingat itu. Ia sangat membenci dirinya.

Isakan Asahi kini kian tak terkontrol, tubuhnya semakin berguncang.

"Asahi?"

Suara berbisik seorang wanita terdengar dari balik pintu.

Asahi pun menoleh dan menemukan Sadara yang kini berjalan masuk mendekatinya.

"Kenapa?" tanya Sandara dengan lembut, tangannya mulai mengusap surai anak di hadapannya itu, berusaha membuat sang anak tenang. "Kau mimpi buruk?"

Dengan jujur, Asahi mengangguk. Ia mengulum bibirnya dan menatap sendu sang ibu.

"Jangan menangis, Appa akan terbangun nanti," ucap Sandara, kini ia mulai beralih mengusap punggung sang anak.

Tanpa Sandara tahu, usapan lembut miliknya itu membuat air mata Asahi semakin kian menderas, anak itu juga terus menatap sendu ibu tirinya.

Sloth Bear | AsahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang