03: Offer & Agreement

2.8K 532 37
                                    

CHAPTER 3
Offer & Agreement

[Playlist: Aalia - Adrenaline]

***

Di atas tanah yang tak begitu luas, di sudut Kota Venesia, sebuah bar sederhana dibangun sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu dan masih beroperasi hingga kini tanpa mengembangkan sedikitpun bagian bangunan atau menambah paling tidak beberapa kursi untuk pelanggan. Bar tersebut masih sama seperti dahulu, dengan desain kuno dan barang-barang bergaya retro.

Meski demikian, sebab memiliki cita rasa minuman racikan yang selalu menyulut pujian setiap lidah peminumnya dan harga yang terbilang tidak murah membuat tempat tersebut hanya dikunjungi oleh orang-orang berdompet tebal: pemilik perusahaan-perusahaan pengendali perekonomian negara atau pejabat pemerintahan misalnya. Sepanjang mata memandang, setiap pengunjung hadir dengan kesan berkelas yang melekati tubuh masing-masing.

Maka dari itu, Jeffrey menghabiskan waktu sekitar dua belas jam untuk membenahi dirinya sebelum datang kemari. Menghapus tato di sekujur leher; menanggalkan logam-logam perak dari menghiasi dua daun telinganya; memotong rambut gondorngnya hingga menjadi cepak lalu diberi sentuhan pomade dan ditata sedemikian rapi, setengah memperlihatkan dahi mulusnya, beberapa helaian ia biarkan terjatuh menutup jidat. Jangan lupakan sebuah kemeja hitam dan celana bahan senada, dipadu jas branded yang ia beli setelah berkeliling mal nyaris tiga jam bersama Mark.

Jeffrey bertemu Mark dahulu di hari pertama ia meninggalkan rumah orang tua angkatnya dan berakhir terlunta-lunta di jalanan. Mark adalah seorang yatim piatu yang putus sekolah karena tak memiliki biaya setelah keluar dari panti asuhan tempatnya dibesarkan. Mark-lah yang mengajari Jeffrey cara bertahan hidup di jalanan; mengais sisa-sisa makanan dari restoran cepat saji atau memungut roti-roti kadaluarsa yang dibuang pelayan minimarket.

Namun, tidak untuk bergabung menjadi anggota gangster: memukuli dan membunuh orang dengan imbalan segepok uang. Tidak. Jeffrey masuk ke dalam lingkaran tersebut atas keinginannya sendiri, tanpa sepengetahuan Mark. Keinginan Jeffrey bukanlah muluk, setidaknya uang hasil kerjanya itu bisa digunakan untuk membayar sewa hunian yang lebih dari layak untuk ia tinggal bersama Mark—sebuah apartemen yang menyediakan ranjang empuk nan nyaman, juga pancuran air hangat untuk mandi saat musim dingin tiba—dan membiayai kuliah Mark. Selain itu, sisanya masih lebih dari cukup untuk makan daging di akhir pekan.

Begitulah Jeffrey hidup selama ini. Cukup tenang tanpa gangguan kecuali mimpi-mimpi buruk yang kerap kali menghantui malam-malamnya. Namun, setelah ini, Jeffrey pikir hidupnya tak akan setenang dulu. Saat ia memutuskan untuk mengusik seseorang yang paling ia benci, Daniel Anderson. Dia adalah putra kebanggaan keluarga Anderson, keluarga yang dulu berjanji akan merawat Jeffrey dengan baik tetapi justru menelantarkannya setelah Jeffrey mendonorkan sumsum tulang belakangnya untuk Daniel.

Bunyi dentingan es batu yang beradu dengan dinding-dinding gelas kaca yang digenggam Jeffrey seakan menggema sebab berada di antara kasak-kusuk orang-orang di dalam bar yang menggemakan musik klasik, tidak ada yang Jeffrey rasakan selain kekosongan. Pandangannya tertuju pada seorang laki-laki yang tengah berkumpul di salah satu meja, bercincang dan berbagi kelakar bersama kawanannya. Daniel Anderson.

Duduk di kursi berkaki tinggi di hadapan seorang pelayan bar, Jeffrey berkali-kali mendapatkan tawaran untuk minum bersama dari beberapa gadis-gadis molek, dan yang pasti kaya raya dilihat dari barang-barang mewah yang melekat pada tubuh mereka. Kalau Jeffrey sedang bukan dalam misi pribadi, Jeffrey jelas tak segan untuk menyambangi para gadis-gadis itu. Paling tidak untuk dijadikan pelampiasan semalam atau mencuri salah sebutir berlian dari mereka.

SILHOUTTE: After A Minute [END]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora