18: Enemy by My Side

1.5K 288 68
                                    

CHAPTER 18
Enemy by My Side

[Playlist: Jung Sae Rin – Enemy of Truth]

***

Johnny Suh.

Jeffrey masih tak bisa memberikan tanggapan wajar serupa membungkuk atau menyapa balik sosok pria yang baru saja memperkenalkan dirinya. Bahkan, hanya untuk membalas senyum Johnny saja, ia seolah enggan.

Saat ini, keseluruhan etensi Jeffrey hanya tercurah pada sosok perempuan yang duduk di sampingnya. Lambat laun, Jeffrey mampu menangkap penanda keberadaan rasa takut yang menggunung, memeluk jiwa perempuan itu kuat. Wajah cantik bertabur muram, netra sejernih kristal yang sayu pandang, dan bibir merona yang menggaris datar. Bulir-bulir peluh bermunculan di sekujur leher dan pelipis. Padahal semua orang di negeri ini tahu, hari sedang dingin-dinginnya.

Jemari Rose masih senantiasa bergetar meski telah mencengkram kuat ujung gaun yang melekat. Maka, naluri Jeffrey bertindak tanpa sadar, mengulurkan satu tangannya yang kokoh untuk meraih jemari kecil Rose yang gemetar. Jeffrey menggenggamnya erat, mencicipi dingin yang lebih-lebih dari pada udara di puncak musim.

Dua manusia dengan posisi sejajar bertukar pandang. Rose menoleh pada Jeffrey sejenak, menerima sorot penuh rasa cemas sebelum akhirnya perempuan itu memilih berpura-pura fokus menyendok kuah sup di mangkuk ke dalam mulut. Jeffrey tak tahu pasti, apa yang membuat air wajah Rose berubah sedemikian signifikan dari yang ia jumpai beberapa saat silam. Yang jelas, itu terjadi semenjak sosok pria yang mengaku sebagai kekasih Alice hadir di tengah-tengah mereka.

"Oh iya. Aku dan Johnny akan menikah Natal tahun depan."

Sedetik usai terdengar pernyataan Alice, bunyi nyaring logam yang jatuh mencium lantai mengejutkan semua orang. Rose sendiri terkesiap, ia dengan segera melepaskan tangannya dari genggaman Jeffrey guna bangkit dan hendak mengambil sendok yang ia jatuhkan.

Namun, niat perempuan itu tertahan. Jeffrey lebih dulu menggenggam pergelangan tangan Rose agar tetap dalam posisi duduk tanpa bergeser sedikitpun. Sebagai gantinya, Jeffrey-lah yang memungut benda yang teronggok malang di bawah.

"Kau baik-baik saja? Apa kau sakit?" Alice bertanya khawatir.

Rose tak lantas menjawab, ia hanya memberi anggukan pelan beserta senyum samar kala menatap sang kakak. Namun, di saat tatapannnya bergeser menubruk Johnny, nampak sekali Rose berupaya mengalihkan mata secepat yang ia bisa. Dan, Jeffrey adalah objek pandang Rose berikutnya.

Meski sesaat, Jeffrey jelas bisa menangkap kebohongan yang terpancar dari mata perempuan itu. Rose tidak sedang baik-baik saja seperti apa yang dikata, Jeffrey yakin telak. Mencoba memutar otak guna mencari cara bagaimana membawa Rose menjauh dari perkumpulan tanpa menuai kecurigaan, Jeffrey kemudian bersuara, "Ada yang ingin aku tunjukan padamu. Mau ikut aku sebentar?"

Sempat memandangi Alice dan Johnny, pada akhirnya Rose mengangguk pelan menanggapi tawaran Jeffrey. Maka, tanpa mengulur waktu lebih lama, dan tanpa mengindahkan iris dua orang yang seakan bertanya-tanya, Jeffrey menuntun Rose meniti anak tangga. Ia mendudukan perempuan itu di atas sebuah sofa dekat jendela setelah sebelumnya memastikan pintu kamar telah tertutup rapat.

Menekuk lutut, Jeffrey memandang Rose lamat-lamat. "Ada apa, hm?"

Suara rendah nan lembut Jeffrey melontarkan tanya. Namun, nihil jawaban. Rose di sana enggan membuka mulut barang sebentar.

"Kau merasa sakit?" Jeffrey bertanya lagi, dan Rose masih sama halnya membisu. Oleh karena itu, tanpa seijin sang pemilik, Jeffrey dengan tergesa meletakan punggung tangan di dahi Rose, barangkali perempuan itu tengah demam. Suhu badannya normal, tetapi keringat dingin tak berhenti bermunculan membasahi tepian wajah.

SILHOUTTE: After A Minute [END]Where stories live. Discover now